Translate

Jumat, 26 Juni 2015

Hukum Nazar Dalam Hati

Tidakkah wajah dan leher manusia
dijerembabkan ke dalam api neraka kecuali akibat
apa yang diucapkan lidah-lidah mereka" –
“Barangsiapa dikehendaki Allah atasnya kebaikan
niscaya ia akan difahamkan akan agamanya”
Syeikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin
mengatakan [Fatawa Al-Mar’ah, dari Fatawa
Syaikh Ibn Jibrin] :
Secara syari’at, hukum nadzar itu adalah makruh.
Dalam hal ini terdapat hadits shahih dari Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau
melarang melakukan nadzar. Beliau bersabda,
“Sesungguhnya ia tidak pernah membawa
kebaikan dan sesungguhnya ia hanya dikeluarkan
(bersumber) dari orang yang bakhil” [ Hadits
Riwayat Al-Bukhari dalam kitab Al-Iman
(6608,6609), Muslim di dalam kitab An-Nadzar
(1639,1640)]
Dalam hadits tersebut, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam memberitahukan bahwa Allah tidak akan
merubah sesuatupun dari apa yang telah Dia
takdirkan akan tetapi hal itu adalah perbuatan
orang bakhil, yang tidak mau berinfaq kecuali
setelah memasang nadzar.
Bila nadzar tersebut berupa ibadah seperti shalat,
puasa, sedekah atau I’tikaf, maka harus ditepati.
Tetapi bila ia nadzar maksiat seperti membunuh,
berzina, minum khamr atau merampas harta
orang lain secara zhalim dan semisalnya maka
tidak boleh menepatinya tetapi dia harus
membayar kafarat sumpah, yaitu memberi makan
sebanyak sepuluh orang miskin dan seterusnya.
Bila nadzar tersebut sesuatu yang mubah
(dibolehkan) seperti makan, minum, pakaian,
bepergian, ucapan biasa dan semisalnya maka dia
diberikan pilihan antara menepatinya atau
membayar kafarat sumpah. Bila berupa nadzar
melakukan ketaatan kepada Allah, maka dia harus
mengalokasikannya kepada kaum miskin dan
kaum lemah seperti makanan, meyembelih
kambing atau semisalnya. Dan jika ia berupa
amal shalih yang bersifat fisik atau materil seperti
jihad, haji dan umrah, maka dia harus
menepatinya. Bila dia mengkhususkannya untuk
suatu pihak maka dia harus menyerahkannya
kepada pihak yang telah dikhususkan tersebut
seperti masjid, buku-buku atau proyek-proyek
kebajikan dan tidak boleh mengalokasikannya
kepada selain yang telah ditentukannya tersebut.
Kemudian Syaikh Muhammad bin Shalih Al-
Utsaimin mengatakan [Fatawa Al-Mar’ah, dari
Fatawa Syaikh Ibn Utsaimin] :
Akan saya kemukakan mukadimah terlebih dahulu
sebelum menjawab, yaitu bahwa tidak semestinya
seseorang melakukan nadzar, sebab pada
dasarnya hukum nadzar itu makruh ataupun
diharamkan sebab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam melarangnya di dalam sabdanya,
“Sesungguhnya ia tidak pernah membawa
kebaikan dan sesungguhnya ia hanya dikeluarkan
(bersumber) dari orang yang bakhil” [ Hadits
Riwayat Al-Bukhari dalam kitab Al-Iman
(6608,6609), Muslim di dalam kitab An-Nadzar
(1639,1640)]
Maka, kebaikan yang anda perkirakan terjadi dari
nadzar itu, bukanlah nadzar itu sebagai
penyebabnya.
Oleh karena itu, anda wajib bermohon kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala agar disembuhkan
dari sakit ini atau agar barang yang hilang
ditemukan kembali. Sedangkan nadzar itu sendiri,
ia tidaklah memiliki aspek apapun dalam hal ini.
Banyak sekali orang-orang yang bernadzar
tersebut, bila sudah mendapatkan apa yang
dinadzarkan, kemudian bermalas-malasan untuk
menepatinya bahkan barangkali tidak jadi
melakukannya. Ini tentunya bahaya yang amat
besar. Sebaiknya, dengarkanlah firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala berikut, “Dan di antara
mereka ada orang yang berikrar kepada Allah :
‘Sesungguhnya jika Allah memberikan
sebahagian dari karuniaNya kepada kami, pasti
kami akan bersedekah dan pastilah kami
termasuk orang-orang yang shalih’. Maka
setelah Allah memberikan kepada mereka
sebahagian dari karuniaNya, mereka kikir dengan
karunia itu, dan berpaling, dan mereka
memanglah orang-orang yang selalu
membelakangi (kebenaran). Maka Allah
menimbulkan kemunafikan pada hati mereka
sampai pada waktu mereka menemui Allah,
karena mereka telah memungkiri terhadap Allah
apa yang telah mereka ikrarkan kepadaNya dan
(juga) karena mereka selalu berdusta” [At-
Taubah : 75-77]
Maka berdasarkan hal ini, tidak semestinya
seorang mukmin melakukan nadzar.
Bila seseorang bernadzar sesuatu pada arah
tertentu dan melihat bahwa yang selainnya lebih
baik dan lebih diperkenankan Allah serta lebih
berguna bagi para hambaNya, maka tidak apa-
apa dia merubah arah nadzar tersebut ke arah
yang lebih baik.
Dalilnya adalah hadits tentang seorang laki-laki
yang datang ke hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam seraya berkata, “Wahai Rasulullah,
sesungguhnya aku telah bernadzar akan
melakukan shalat di Baitul Maqdis bila kelak Allah
menganugrahkan kemenangan kepadamu di
dalam menaklukan Mekkah”. Maka beliau
menjawab : “Shalatlah di sini saja”, kemudian
orang tadi mengulangi lagi perkataannya, lalu
dijawab oleh beliau, “Kalau begitu, itu menjadi
urusanmu sendiri” [Hadits Riwayat Abu Daud di
dalam kitab Al-Iman (3305)]
Hadits ini menunjukkan bahwa bila seseorang
berpindah dari nadzarnya yang kurang utama
kepada yang lebih utama, maka hal itu boleh
hukumnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar