Translate

Selasa, 30 Juni 2015

Kisah Tsabit Bin Ibrahim

Seorang lelaki yang saleh bernama Tsabit bin
Ibrahim sedang berjalan di pinggiran kota Kufah.
Tiba-tiba dia melihat Sebuah apel jatuh keluar
pagar sebuah kebun buah-buahan. Melihat apel
yang merah ranum itu tergeletak di tanah
membuat air liur Tsabit terbit, apalagi di hari
yang panas dan tengah kehausan. Maka tanpa
berpikir panjang dipungut dan dimakannyalah
buah apel yang lezat itu. akan tetapi baru
setengahnya di makan dia teringat bahwa buah
itu bukan miliknya dan dia belum mendapat ijin
pemiliknya. Maka ia segera pergi kedalam kebun
buah-buahan itu hendak menemui pemiliknya
agar menghalalkan buah yang telah dimakannya.
Di kebun itu ia bertemu dengan seorang lelaki.
Maka langsung saja dia berkata, "Aku sudah
makan setengah dari buah apel ini. Aku berharap
Anda menghalalkannya". Orang itu menjawab,
"Aku bukan pemilik kebun ini. Aku Khadamnya
yang ditugaskan merawat dan mengurusi
kebunnya". Dengan nada menyesal Tsabit
bertanya lagi, "Dimana rumah pemiliknya? Aku
akan menemuinya dan minta agar dihalalkan apel
yang telah kumakan ini." Pengurus kebun itu
memberitahukan, "Apabila engkau ingin pergi
kesana maka engkau harus menempuh perjalanan
sehari semalam". Tsabit bin Ibrahim bertekad
akan pergi menemui si pemilik kebun itu. Katanya
kepada orang tua itu, "Tidak mengapa. Aku akan
tetap pergi menemuinya, meskipun rumahnya
jauh. Aku telah memakan apel yang tidak halal
bagiku karena tanpa seijin pemiliknya. Bukankah
Rasulullah sudah memperingatkan kita lewat
sabdanya : "Siapa yang tubuhnya tumbuh dari
yang haram, maka ia lebih layak menjadi umpan
api neraka"
Tsabit pergi juga ke rumah pemilik kebun itu, dan
setiba di sana dia langsung mengetuk pintu.
Setelah si pemilik rumah membukakan pintu,
Tsabit langsung memberi salam dengan sopan,
seraya berkata," Wahai tuan yang pemurah, saya
sudah terlanjur makan setengah dari buah apel
tuan yang jatuh ke luar kebun tuan. Karena itu
maukah tuan menghalalkan apa yang sudah
kumakan itu ?" Lelaki tua yang ada dihadapan
Tsabit mengamatinya dengan cermat. Lalu dia
berkata tiba-tiba, "Tidak, aku tidak bisa
menghalalkannya kecuali dengan satu syarat."
Tsabit merasa khawatir dengan syarat itu karena
takut ia tidak bisa memenuhinya. Maka segera ia
bertanya, "Apa syarat itu tuan ?" Orang itu
menjawab, "Engkau harus mengawini putriku !"
Tsabit bin Ibrahim tidak memahami apa maksud
dan tujuan lelaki itu, maka dia berkata, "Apakah
karena hanya aku makan setengah buah apelmu
yang keluar dari kebunmu, aku harus mengawini
putrimu ?" Tetapi pemilik kebun itu tidak
menggubris pertanyaan Tsabit. Ia malah
menambahkan, katanya, "Sebelum pernikahan
dimulai engkau harus tahu dulu kekurangan-keku
rangan putriku itu. Dia seorang yang buta, bisu,
dan tuli. Lebih dari itu ia juga seorang yang
lumpuh!"
Tsabit amat terkejut dengan keterangan si pemilik
kebun. Dia berpikir dalam hatinya, apakah
perempuan seperti itu patut dia persunting
sebagai istri gara-gara setengah buah apel yang
tidak dihalalkan kepadanya? Kemudian pemilik
kebun itu menyatakan lagi, "Selain syarat itu aku
tidak bisa menghalalkan apa yang telah kau
makan !"
Namun Tsabit kemudian menjawab dengan
mantap, "Aku akan menerima pinangannya dan
perkawinanya. Aku telah bertekad akan
mengadakan transaksi dengan Allah Rabbul
alamin. Untuk itu aku akan memenuhi kewajiban-
kewajiban dan hak-hakku kepadanya karena aku
amat berharap Allah selalu meridhaiku dan
mudah-mudahan aku dapat meningkatkan
kebaikan-kebaikanku di sisi Allah Taala".
Maka pernikahan pun dilaksanakan. Pemilik
kebun itu menghadirkan dua saksi yang akan
menyaksikan akad nikah mereka. Sesudah
perkawinan usai, Tsabit dipersilahkan masuk
menemui istrinya. Sewaktu Tsabit hendak masuk
kamar pengantin, dia berpikir akan tetap
mengucapkan salam walaupun istrinya tuli dan
bisu, karena bukankah malaikat Allah yang
berkeliaran dalam rumahnya tentu tidak tuli dan
bisu juga. Maka iapun mengucapkan salam
,"Assalamualaikum..." Tak dinyana sama sekali
wanita yang ada dihadapannya dan kini resmi jadi
istrinya itu menjawab salamnya dengan baik.
Ketika Tsabit masuk hendak menghampiri wanita
itu , dia mengulurkan tangan untuk menyambut
tangannya . Sekali lagi Tsabit terkejut karena
wanita yang kini menjadi istrinya itu menyambut
uluran tangannya. Tsabit sempat terhentak
menyaksikan kenyataan ini.
"Kata ayahnya dia wanita tuli dan bisu tetapi
ternyata dia menyambut salamnya dengan baik.
Jika demikian berarti wanita yang ada
dihadapanku ini dapat mendengar dan tidak bisu.
Ayahnya juga mengatakan bahwa dia buta dan
lumpuh tetapi ternyata dia menyambut
kedatanganku dengan ramah dan mengulurkan
tangan dengan mesra pula", Kata Tsabit dalam
hatinya. Tsabit berpikir, mengapa ayahnya
menyampaikan berita-berita yang bertentangan
dengan yang sebenarnya? Setelah Tsabit duduk di
samping istrinya , dia bertanya, "Ayahmu
mengatakan kepadaku bahwa engkau buta .
Mengapa?" Wanita itu kemudian berkata, "Ayahku
benar, karena aku tidak pernah melihat apa-apa
yang diharamkan Allah".
Tsabit bertanya lagi, "Ayahmu juga mengatakan
bahwa engkau tuli. Mengapa?"
Wanita itu menjawab, "Ayahku benar, karena aku
tidak pernah mau mendengar berita dan cerita
orang yang tidak membuat ridha Allah. Ayahku
juga mengatakan kepadamu bahwa aku bisu dan
lumpuh, bukan ?" Tanya wanita itu kepada Tsabit
yang kini sah menjadi suaminya. Tsabit
mengangguk perlahan mengiyakan pertanyaan
istrinya. Selanjutnya wanita itu berkata, "aku
dikatakan bisu karena dalam banyak hal aku
hanya menggunakan lidahku untuk menyebut
asma Allah Taala saja. Aku juga dikatakan
lumpuh karena kakiku tidak pernah pergi ke
tempat-tempat yang bisa menimbulkan
kegusaran Allah Taala".
Tsabit amat bahagia mendapatkan istri yang
ternyata amat saleh dan wanita yang memelihara
dirinya. Dengan bangga ia berkata tentang
istrinya, "Ketika kulihat wajahnya... Subhanallah ,
dia bagaikan bulan purnama di malam yang
gelap". Tsabit dan istrinya yang salihah dan
cantik itu hidup rukun dan berbahagia. Tidak
lama kemudian mereka dikaruniai seorang putra
yang ilmunya memancarkan hikmah ke seluruh
penjuru dunia. Itulah Al Imam Abu Hanifah An
Numan bin Tsabit.
Subhanallah...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar