Translate

Selasa, 30 Juni 2015

Suamiku,Jangan Sakiti Aku Dengan Marahmu

Semua orang pasti pernah marah. Karena marah
merupakan sifat alamiah yang dimiliki oleh semua
manusia. Bohong besar jika ada orang di dunia ini
yang mengklaim dirinya tak pernah marah.
...
Secara kodrati, diciptakannya manusia sebagai
makhluk sosial yang senantiasa berinteraksi
dengan or...ang lain, sangat memungkinkan sekali
terjadinya perbedaan opini dan watak yang bisa
memicu kejengkelan dan kemarahan. Hal ini
sangat wajar. Apalagi dalam kehidupan rumah
tangga, perselisihan suami-istri seringkali tak
bisa dihindari.
Lebih Dahsyat Bila Suami yang Marah
Dalam hubungan suami-istri, kemarahan suami
acapkali lebih dahsyat efeknya bagi kehidupan
rumah tangga. Dan tak sedikit gejolak emosi
seorang suami yang akhirnya membuahkan
kekerasan fisik yang meretakkan ketenteraman
hati semua anggota keluarga. Hati istri pun
tersayat tatkala bentakan dan kemarahan suami
menjadi ‘menu harian’ yang disuguhkan suaminya
kepadanya.
Bukankah Rasulullah n telah bersabda : ﻟَﻴْﺲَ ﺍﻟﺸَّﺪِﻳْﺪُ
ﺑِﺎﻟﺼُّﺮَﻋَﺔِ، ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﺍﻟﺸَّﺪِﻳْﺪُ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﻳَﻤْﻠِﻚُ ﻧَﻔْﺴَﻪُ ﻋِﻨْﺪَ ﺍﻟْﻐَﻀَﺐِ Orang“
yang kuat bukanlah yang pandai bergulat.
Sesungguhnya orang yang kuat adalah orang
yang mampu mengendalikan dirinya ketika
marah.” (HR. Bukhari) Suami atau istri harus bisa
mengendalikan amarahnya, agar ketenteraman
keluarga tetap terjaga. Umar bin Khaththab a
pernah berkata di dalam khutbahnya, “Orang yang
beruntung di antara kalian adalah orang yang
terjaga dari ketamakan, hawa nafsu, dan
amarah.” Bagaimana bila ia terlanjur marah?
Hendaklah ia segera sadar, dan berusaha
mengekang dirinya agar kemarahannya tidak
terus berkelanjutan.
Segera minta maaf merupakan langkah tepat
untuk meredam suasana, agar kemarahan tidak
berbuntut dengan sederet efek negatif yang
mengancam keutuhan keluarga. Bila suami yang
khilaf terbelenggu oleh nafsu amarah, segeralah
meminta maaf kepada istri. Istri juga harus
lapang dada untuk memaafkan sang suami.
Semoga amarah yang disesali dan dimintakan
maaf akan menjadi pembersih dosa orang yang
dimarahinya.
Rasulullah n bersabda, “Ya Allah, sesungguhnya
aku adalah manusia biasa.
Oleh karena itu, siapa pun kaum muslimin yang
telah aku maki, aku laknat, atau aku cambuk,
jadikanlah hal itu sebagai penyucian dan rahmat
baginya.” (HR. Muslim) Kita semua berharap, bila
suatu ketika kita khilaf dan terlanjur marah,
semoga kemarahan kita menjadi rahmat bagi
orang lain. Yakni saat kita segera sadar,
menyesal dan meminta maaf dengan kekhilafan
kita.
Namun, tak dipungkiri bahwa menahan amarah
tatkala emosi kita mulai meninggi merupakan
perkara yang lebih mulia.
Rasulullah n bersabda, “Barangsiapa menahan
amarah sedang ia mampu melakukannya, Allah
akan memanggilnya di hadapan makhluk-Nya
hingga membuatnya memilih bidadari mana saja
yang dikehendakinya untuk dinikahinya.” (Hadits
shahih, dishahihkan oleh Al-Albani di dalam
Shahihul Jami’, no. 3518) Marah yang Berkualitas
Marah sering diklasifikasikan menjadi dua
macam. Pertama, marah yang terpuji, yakni bila
dilakukan dalam rangka membela diri,
kehormatan, harta, agama, hak-hak umum atau
menolong orang yang dizhalimi. Kedua, marah
yang tercela, yakni marah sebagai tindakan balas
dendam demi dirinya sendiri.
Dalam kehidupan keluarga, seorang istri akan
bisa lebih ridha menerima kemarahan suami, bila
suaminya marah dengan landasan keagamaan
yang kental. Suami marah karena ingin membela
prinsip agama yang mungkin dilalaikan oleh
istrinya. Inilah marah yang berbobot, marah yang
berkualitas.
Suami marah tidak semata karena perkara-
perkara yang bersifat keduniaan, atau hal-hal
remeh yang tidak memiliki kaitan dengan dien.
Suami marah karena didasari alasan yang bersifat
syar’i, walaupun itu harus tetap dalam batas
kewajaran dan tidak berlebihan.
Marah seperti inilah yang pernah dilakukan
Rasulullah n dalam hidupnya. Diriwayatkan dari
Abdullah bin Mas’ud a bahwa ia berkata, “Kami
pernah bersama Rasulullah n melewati sebuah
sarang semut yang telah dibakar.
Nabi lalu marah dan bersabda, ‘Sesungguhnya
tidak patut bagi manusia untuk menyiksa dengan
siksaan Allah’.” (HR. Ahmad dan Nasa’i) Seorang
perempuan Anshar menceritakan, “Aku pernah
bertamu ke rumah Ummu Salamah. Tiba-tiba
Rasulullah n datang kepadanya dalam keadaan
seakan-akan marah. Melihat hal itu, aku pun
bersembunyi di balik perisai. Beliau lalu berbicara
(kepada Ummu Salamah) dengan pembahasan
yang tidak aku pahami.
Setelah itu, aku lalu bertanya, ‘Wahai Ummul
Mukminin, seakan-akan aku melihat Rasulullah
marah?’ Ia menjawab, ‘Ya, tidakkah kamu tadi
mendengarnya?’ Aku balik bertanya, ‘Apa yang
beliau sabdakan?’ Ia menjawab, ‘Beliau bersabda,
‘Sesungguhnya jika kejahatan sudah menyebar di
muka bumi dan tidak ada yang mencegahnya,
maka Allah akan menurunkan siksa-Nya terhadap
penduduk bumi.’ Lalu, aku bertanya, ‘Wahai
Rasulullah, bukankah di dalamnya banyak orang-
orang shalih?’ Beliau menjawab, ‘Ya. Di dalamnya
banyak orang-orang shalih, tetapi mereka akan
ikut terkena bencana sebagaimana orang lain.
Kemudian Allah akan mematikan mereka dan
mengembalikan mereka kepada maghfirah dan
rahmat-Nya’.” (HR. Ahmad) Abdurrahman bin Al-
Qasim meriwayatkan dari ayahnya (Abu Bakar
Ash-Shiddiq) bahwa ia mendengar Aisyah x
berkata, “Suatu ketika Rasulullah n masuk ke
rumahku dan aku telah menutupi kamarku dengan
kain penutup tipis yang ada gambar-gambarnya
(gambar makhluk bernyawa). Begitu melihatnya,
beliau lalu merusak gambar-gambar itu dan
wajah beliau pun langsung berubah warna
(karena marah).
Beliau kemudian bersabda, ‘Wahai Aisyah, orang
yang paling dahsyat siksanya di sisi Allah pada
hari kiamat nanti adalah orang-orang yang
meniru ciptaan Allah’. Aisyah berkata, ‘Kami lalu
memotong kain penutup itu dan menjadikannya
satu atau dua bantal’.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Apabila hanya karena urusan sepele, seperti
masakan yang kurang asin, rumah yang kurang
rapi dan lain sebagainya, sang suami cepat sekali
naik pitam dan bersikap kasar kepada istri, tentu
hal ini akan sangat menyakitkan hati sang istri.
Namun, jika kemarahan suami dilandasi alasan
syar’i, tentu para istri akan lebih bisa berlapang
hati. Semoga marah seperti ini yang akan
mendatangkan rahmat Ilahi. Dengan syarat,
asalkan masih dalam batas kewajaran, tidak
berlebihan, dan tidak terus-terusan. Walau diakui
juga, bahwa menahan amarah itu jauh lebih mulia
dan lebih menenteramkan jiwa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar