Tak ada manusia yang sempurna di dunia ini. Ia selalu berlumur dosa.
Namun demikian Allah dengan sifatnya Al-Ghafur, yang artinya Yang Maha
Pengampun, senantiasa mengampuni segala dosa hambaNya yang memohon ampun
dan menyadari dosa-dosanya.
Bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh rahmat, ampunan, pembebasan
dari neraka, dan bulan untuk melakukan kebaikan. Karena itu dosa manusia
banyak diampuni di bulan ini. Bahkan bulan Ramadhan juga merupakan
bulan kesabaran yang sudah pasti surga jaminan pahalanya,Amalan puasa akan dilipatgandakan oleh Allah Swt hingga
berlipat-lipat tanpa ada batasan bilangan.Kenapa bisa demikian? Ibnu
Rajab Al Hambali –semoga Allah merahmati beliau- mengatakan,”Karena
puasa adalah bagian dari kesabaran”. Mengenai ganjaran orang yang
bersabar, sebagaimana
yang disebutkan dalam Surat Az-Zumar/39:10
Allah Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala tanpa batas.”(QS. Az Zumar: 10)
Dijelaskan dalam beberapa hadist, Puasa Ramadhan merupakan perisai
atau benteng serta penghalang dari dosa dan kemaksiatan, serta pelindung
dari neraka. Namun demikian, puasa yang dimaksud bukanlah sekedar
menahan lapar dan dahaga di bulan Ramadhan. Atau bahkan ingin pamer,
mendapatkan sanjungan dari orang lain, mengikuti adat atau mengikuti
niat orang banyak. Tetapi puasa yang dimaksud adalah semata-mata
meluruskan niat untuk ibadah kepada Allah dan mengharapkan ridho serta
pahala dariNya.
Sebagaimana diriwayatkan dalam hadist Al-Bukhari dan Muslim, yang artinya sebagai berikut :
“Barangsiapa yang berpuasa karena iman dan ingin mendapatkan pahala, maka diampuni semua dosanya yang telah lewat.”
Alangkah baiknya bila seseorang yang melaksanakan puasa di bulan
Ramadhan ditambah dengan amalan shalat malam, maka ia akan kembali suci
seperti layaknya seorang bayi yang baru dilahirkan. Dan Rasullullah
SAW-pun bersabda, yang artinya:
“Sesungguhnya Allah mewajibkan puasa Ramadhan dan saya
menyunnahkan bagi kalian shalat malamnya. Maka barang siapa melaksanakan
ibadah puasa dan shalat malamnya karena iman dank arena ingin
mendapatkan pahala, niscaya dia keluar dari dosa-dosanya sebagaimana
saat dia dilahirkan oleh ibundanya.”
Sabar itu ada tiga macam yaitu (1) sabar dalam melakukan ketaatan
kepada Allah, (2) sabar dalam meninggalkan yang haram dan (3) sabar
dalam menghadapi takdir yang terasa menyakitkan. Ketiga macam bentuk
sabar ini, semuanya terdapat dalam amalan puasa. Dalam puasa tentu saja
ada bentuk melakukan ketaatan dan menjauhi hal-hal yang diharamkan.
Juga dalam puasa seseorang berusaha bersabar dari hal-hal yang
menyakitkan seperti menahan diri dari rasa lapar, dahaga, dan lemahnya
badan. Maka, kita dapat meraih pahala yang tak terhingga jika kita mampu
untuk bersabar dalam segala hal.
Bila seorang muslim telah melakukan hal yang demikian di
bulan Ramadhan, ini sama halnya ia menjaga waktu siangnya dengan puasa,
menjaga waktu malamnya dengan shalat tarawih ditambah shalat malam,
semata-mata untuk mendapat ridho Allah SWT. Puasa adalah sarana
memperbanyak sabar. Sedangkan sabar sendiri adalah bagian dari iman.
Dengan berpuasa manusia akan sabar menahan lapar dan dahaga dari shubuh
hingga menjelang maghrib.
Lantas mengapa puasa termasuk sebagian dari sabar? Justru sabar
inilah yang membedakan manusia dengan makhluk lain, seperti hewan dalam
hal nafsu syahwat. Dengan sabar, manusia akan meninggalkan segala
perbuatan yang berbau nafsu syahwat. Arti sabar sendiri mengandung dua
makna, yaitu makna positif yang artinya selalu menjalankan perintah
Allah, dan makna preventif, yang artinya mencegah atau berusaha
menghindari perbuatan jahat yang penuh angkara murka.
Dengan sabar, diharapkan setiap muslim akan senantiasa menjalankan
perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, sehingga terhindar dari sifat
keangkaramurkaan, meski dalam kondisi sedang menghadapi cobaan dari-Nya.
Dan sabar memang tiada batasnya. Hanya orang-orang yang sabar dan
senantiasa berimanlah yang mampu menghadapi cobaan yang datangnya
bertubi-tubi. Puasa Ramadhan adalah ujian kesabaran, dimana setiap
muslim diuji kemampuannya untuk tidak sekedar mengikuti hawa nafsunya,
minimal ia mampu menahan lapar dan dahaga mulai dari terbitnya fajar
hingga terbenamnya matahari. Dan sudah pasti dengan berpuasa, setiap
muslim akan dapat mengambil hikmah dari ibadah yang telah dijalankannya.
Dengan demikian ada beberapa nilai yang terkandung dalam puasa, diantaranya:
1. Nilai spiritual: adalah sebuah kesadaran bahwa setiap umat muslim
selalu dekat dengan Allah SWT, sehingga ia merasa dirinya benar-benar
dalam pengawasan-Nya.
2. Nilai moral: adalah sebuah kesadaran untuk selalu berbuat baik dan meninggalkan perbuatan yang tidak baik.
3. Nilai sosial: adalah kesadaran untuk membantu sesama yang
membutuhkan melalui shadaqah, infaq, atau zakat baik dalam keadaan
sempit atau longgar.
Lalu apa makna puasa dibalik menjaga kesabaran? Dengan menjaga
kesabaran di bulan Ramadhan, tentunya akan tergerak untuk menjaga amanah
dalam menjalankan ibadah puasa. Sudah barang tentu puasa yang dengan
penuh sabar, iman dan menjaga amanah-lah yang benar-benar diridhoi
Allah. Dan yang dimaksud dengan puasa untuk menjaga amanah, dibedakan
dalam dua hal, yaitu: menjaga makanan dan menjaga pakaian.
Makanan bagaimana yang sebaiknya di makan saat berbuka puasa?
Tentunya makanan yang halal, aman dan proporsional, dengan kata lain
ketika menyantap hidangan berbuka tidak yang berlebih-lebihan tetapi
menyehatkan, mengandung gizi seimbang dan aman untuk dikonsumsi. Tidak
mengandung bahan yang membahayan, juga tidak mengandung bahan yang
menimbulkan penyakit.
Sedangkan menjaga pakaian, tentunya ketika menjalankan Ibadah puasa,
sebagai umat muslim sebaiknya menunjukkan identitas kemuslimannya,
terutama dengan menutup aurat dan menjauhkan dari pandangan maksiat.
Demikian juga tidak memakai perhiasan yang terlalu mencolok, agar
tidak menimbulkan fitnah yang membatalkan puasa. Puasa Ramadhan selain
menahan lapar dan dahaga, dapat juga diartikan puasa mulut, puasa
pandangan, dan puasa seluruh anggota badan.
Lantas, apa saja yang bisa dilakukan sembari mengisi waktu berpuasa?
Meski seluruh anggota badan diwajibkan berpuasa, namun tidak dianjurkan
bagi setiap muslim untuk tidur sepanjang hari. Alangkah baiknya bila ia
mampu mengisi hari-harinya dengan kegiatan yang bermanfaat, tentunya
dengan harapan mendapatkan ridho dari-Nya.
Dapur Tikus
Translate
Jumat, 10 Juli 2015
Do'a Pada Malam Lailatul Qadar
Malam Lailatul Qadar terjadi pada 1 malam ganjil pada 10 malam
terakhir di bulan Ramadhan (Malam ke 21, 23, 25, 27, atau 29): Pendapat
yang paling kuat, terjadinya malam Lailatul Qadr itu pada 10 malam
terakhir bulan Ramadhan: Aisyah r.a. berkata, “Rasulullah ber’itikaf
pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, dan beliau bersabda, ‘Carilah
malam qadar pada malam ganjil dari sepuluh malam terakhir dari bulan
Ramadhan. (HR Bukhari dan HR Muslim)
Diriwayatkan bahwa ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha berkata, “Wahai
Rasulullah, apa yang sebaiknya aku baca bila bertepatan dengan malam
Lailatul Qadar?” Rasulullah bersabda: “Bacalah:
اللَّهُمَّ إنَّك عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي
Bacaan Doa Pada Malam Lailatul Qadar dalam Bahasa Indonesia
Allahumma Innaka 'Afuwwun, Tuhibbul 'Afwa, Fa'fu 'AnniTerjemahan Doa Pada Malam Lailatul Qadar
"Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemberi ampunan dan menyukai orang yang memohon ampunan, maka ampunilah aku." (HR: At-Tirmidzi 3760, Ibnu Majah 3850, Ahmad VI/171, Al-Hakim I/530 dan An-Nasa'i dalam Amalul Yaum wal Lailah, silahkan lihat Shahih Jami' At-Tirmidzi).
Apa do’a yang dianjurkan banyak dibaca pada malam lailatul qadar?
Ada do’a yang pernah diajarkan oleh Rasul kita shallallahu ‘alaihi wa sallam jikalau kita bertemu dengan malam kemuliaan tersebut yaitu do’a: Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu’anni (Ya Allah, Engkau Maha Pemaaf dan Engkau mencintai orang yang meminta maaf, karenanya maafkanlah aku).
عَنْ
عَائِشَةَ قَالَتْ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ عَلِمْتُ
أَىُّ لَيْلَةٍ لَيْلَةُ الْقَدْرِ مَا أَقُولُ فِيهَا قَالَ قُولِى
اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّى
Dari ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anha-, ia berkata, “Aku pernah
bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu jika saja
ada suatu hari yang aku tahu bahwa malam tersebut adalah lailatul qadar,
lantas apa do’a yang mesti kuucapkan?” Jawab Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Berdo’alah: Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu’anni
(Ya Allah, Engkau Maha Pemaaf dan Engkau mencintai orang yang meminta
maaf, karenanya maafkanlah aku).” (HR. Tirmidzi no. 3513 dan Ibnu Majah
no. 3850. Abu ‘Isa At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Hadits ini dibawakan oleh Imam Tirmidzi dalam bab “Keutamaan meminta
maaf dan ampunan pada Allah”. Hadits di atas disebutkan pula oleh Ibnu
Hajar dalam Bulughul Marom pada hadits no. 706.Maksud dari “innaka ‘afuwwun” adalah yang banyak memberi maaf. Demikian kata penulis kitab Tuhfatul Ahwadzi.
Para ulama menyimpulkan dari hadits di atas tentang anjuran memperbanyak do’a “Allahumma innaka ‘afuwwun …” pada malam yang diharap terdapat lailatul qadar. Do’a di atas begitu jaami’ (komplit dan syarat makna) walau terlihat singkat. Do’a tersebut mengandung ketundukan hamba pada Allah dan pernyataan bahwa dia tidak bisa luput dari dosa. Namun sekali lagi meminta ampunan seperti ini tidaklah terbatas pada bulan Ramadhan saja.
Al Baihaqi rahimahullah berkata, “Meminta maaf atas kesalahan dianjurkan setiap waktu dan tidak khusus di malam lailatul qadar saja.” (Fadho-ilul Awqot, hal. 258).
Ibnu Rajab rahimahullah juga memberi penjelasan menarik,
و
إنما أمر بسؤال العفو في ليلة القدر بعد الإجتهاد في الأعمال فيها و في
ليالي العشر لأن العارفين يجتهدون في الأعمال ثم لا يرون لأنفسهم عملا
صالحا و لا حالا و لا مقالا فيرجعون إلى سؤال العفو كحال المذنب المقصر
“Dianjurkan banyak meminta maaf atau ampunan pada Allah di malam
lailatul qadar setelah sebelumnya giat beramal di malam-malam Ramadhan
dan juga di sepuluh malam terakhir. Karena orang yang arif adalah yang
bersungguh-sungguh dalam beramal, namun dia masih menganggap bahwa
amalan yang ia lakukan bukanlah amalan, keadaan atau ucapan yang baik
(sholih). Oleh karenanya, ia banyak meminta ampun pada Allah seperti
orang yang penuh kekurangan karena dosa.”Yahya bin Mu’adz pernah berkata,
ليس بعارف من لم يكن غاية أمله من الله العفو
“Bukanlah orang yang arif jika ia tidak pernah mengharap ampunan Allah.” (Lathoiful Ma’arif, hal. 362-363).Hadits ‘Aisyah di atas juga menunjukkan bahwa do’a di malam lailatul qadar adalah do’a yang mustajab sehingga dia bertanya pada Rasul mengenai do’a apa yang mesti dipanjatkan di malam tersebut.
Hadits ‘Aisyah juga menunjukkan bahwa jika seseorang berdo’a pada Allah diperantarai dengan tawassul melalui nama-nama Allah. Seperti dalam do’a terlebih dahulu memuji Allah dengan ‘Allahumma innaka ‘afuwwun, yaitu Ya Allah yang Maha Pemberi Maaf’. Bentuk do’a semacam ini adalah bertawassul terlebih dahulu dengan nama atau sifat Allah yang sesuai dengan isi do’a.
Dalil di atas juga menunjukkan bahwa sifat ‘afwu (pemaaf) adalah di antara sifat Allah. Maksud ‘afwu adalah memaafkan dosa yang diperbuat hamba. Begitu pula hadits tersebut menetapkan sifat mahabbah (cinta) bagi Allah. Penetapa sifat di sini adalah sesuai dengan keagungan Allah, tanpa dimisalkan dengan makhluk dan tanpa ditolak maknanya. Wallahu a’lam.
Hukum Sahur Saat Adzan Subuh Berkumandang
Bulan Puasa adalah bulan di mana kita menahan apa yang membatalkan
puasa dari sebelum terbitnya fajar sampai tenggelamnya Matahari.
Puasa terdiri dari berbuka dan sahur. Apabila azan Magrib telah berkumandang maka kita di wajibkan untuk berbuka puasa. Lalu kita sahur pada waktu sebelum azan Subuh.
Mungkin banyak di antara kita yang kesiangan bangun sahur atau telah melewati waktu imsak, sehingga ketika azan Subuh telah berkumandang kita masih mengunyah makanan.
Lalu pertanyaannya, sah kah puasa kita? Atau sampai batas manakah kita di bolehkan untuk mengunyah santapan sahur kita.
Jika diantara kamu mendengar azan subuh telah berkumandang, sedang makanan dan minuman berada di tanganmu, maka hendaknya kamu jangan meletakkannya sebelum menelan makanmu." (Hadits Shahih, HR Abu Daud dan Ahmad).
Maksud hadis di atas adalah apabila kamu makan sahur sementara azan Subuh telah berkumandang maka hendaklah kamu menyelesaikan makanan yang ada di mulutmu jangan memuntahkannya.
Puasa terdiri dari berbuka dan sahur. Apabila azan Magrib telah berkumandang maka kita di wajibkan untuk berbuka puasa. Lalu kita sahur pada waktu sebelum azan Subuh.
Mungkin banyak di antara kita yang kesiangan bangun sahur atau telah melewati waktu imsak, sehingga ketika azan Subuh telah berkumandang kita masih mengunyah makanan.
Lalu pertanyaannya, sah kah puasa kita? Atau sampai batas manakah kita di bolehkan untuk mengunyah santapan sahur kita.
Jika diantara kamu mendengar azan subuh telah berkumandang, sedang makanan dan minuman berada di tanganmu, maka hendaknya kamu jangan meletakkannya sebelum menelan makanmu." (Hadits Shahih, HR Abu Daud dan Ahmad).
Maksud hadis di atas adalah apabila kamu makan sahur sementara azan Subuh telah berkumandang maka hendaklah kamu menyelesaikan makanan yang ada di mulutmu jangan memuntahkannya.
Kedua, jika kita sedang mengunyah makanan atau meneguk air, dan azan
subuh telah berkumandang sementara masih ada sisa makanan atau minuman
di piring kita maka hendaklah kita menghentikan makan kita, apabila kita
teruskan maka batallah puasa kita.
Dalil tersebut terdapat dalam firman Allah SWT ("Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar." (Al Baqarah: 187).
Ayat di atas tersebut menyuruh kita untuk Berhenti makan sahur ketika fajar datang atau azan subuh telah berkumandang. Hal itu artinya wajib kita lakukan dan apabila kita langgar maka batallah puasa kita.
Suatu hal yang membuat kami rancu adalah ketika mendengar hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang secara tekstual jika kami perhatikan menunjukkan masih bolehnya makan ketika adzan shubuh.
Hadits tersebut adalah hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Hadits ini seakan-akan bertentangan dengan ayat,
Alhamdulillah, Allah memudahkan untuk mengkaji hal ini dengan melihat kalam ulama yang ada.
Berhenti Makan Ketika Adzan Shubuh
Para ulama menjelaskan bahwa barangsiapa yang yakin akan terbitnya fajar shodiq (tanda masuk waktu shalat shubuh), maka ia wajib imsak (menahan diri dari makan dan minum serta dari setiap pembatal). Jika dalam mulutnya ternyata masih ada makanan saat itu, ia harus memuntahkannya. Jika tidak, maka batallah puasanya.
Adapun jika seseorang tidak yakin akan munculnya fajar shodiq, maka ia masih boleh makan sampai ia yakin fajar shodiq itu muncul. Begitu pula ia masih boleh makan jika ia merasa bahwa muadzin biasa mengumandangkan sebelum waktunya. Atau ia juga masih boleh makan jika ia ragu adzan dikumandangkan tepat waktu atau sebelum waktunya. Kondisi semacam ini masih dibolehkan makan sampai ia yakin sudah muncul fajar shodiq, tanda masuk waktu shalat shubuh. Namun lebih baik, ia menahan diri dari makan jika hanya sekedar mendengar kumandang adzan. Demikian keterangan dari ulama Saudi Arabia, Syaikh Sholih Al Munajjid hafizhohullah.
Pemahaman Hadits
Adapun pemahaman hadits Abu Hurairah di atas, kita dapat melihat dari dua kalam ulama berikut ini.
Pertama: Yahya bin Syarf An Nawawi rahimahullah.
Dalam Al Majmu’, An Nawawi menyebutkan,
“Kami katakan bahwa jika fajar terbit sedangkan makanan masih ada di mulut, maka hendaklah dimuntahkan dan ia boleh teruskan puasanya. Jika ia tetap menelannya padahal ia yakin telah masuk fajar, maka batallah puasanya. Permasalah ini sama sekali tidak ada perselisihan pendapat di antara para ulama. Dalil dalam masalah ini adalah hadits Ibnu ‘Umar dan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhum bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Adapun hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
Kedua: Ibnu Qayyim Al Jauziyah rahimahullah.
Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan dalam Tahdzib As Sunan mengenai beberapa salaf yang berpegang pada tekstual hadits Abu Hurairah “Jika salah seorang di antara kalian mendengar adzan sedangkan bejana (sendok, pen) ada di tangan kalian, maka janganlah ia letakkan hingga ia menunaikan hajatnya”. Dari sini mereka masih membolehkan makan dan minum ketika telah dikumandangkannya adzan shubuh. Kemudian Ibnul Qayyim menjelaskan, “Mayoritas ulama melarang makan sahur ketika telah terbit fajar. Inilah pendapat empat imam madzhab dan kebanyakan mayoritas pakar fiqih di berbagai negeri.”
Catatan: Adzan saat shubuh di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu dua kali. Adzan pertama untuk membangunkan shalat malam. Adzan pertama ini dikumandangkan sebelum waktu Shubuh. Adzan kedua sebagai tanda terbitnya fajar shubuh, artinya masuknya waktu Shubuh.
Pendukung dari Atsar Sahabat
Ada beberapa riwayat yang dibawakan oleh Ibnu Hazm rahimahullah.
Setelah Ibnu Hazm (Abu Muhammad) mengomentari hadits Abu Hurairah yang kita ingin pahami di awal tulisan ini lalu beliau membawakan beberapa atsar dalam masalah ini, sebelumnya beliau rahimahullah mengatakan,
Sikap Lebih Hati-Hati
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah ditanya, “Apa hukum Islam mengenai seseorang yang mendengar adzan Shubuh lantas ia masih terus makan dan minum?”
Jawab beliau, “Wajib bagi setiap mukmin untuk menahan diri dari segala pembatal puasa yaitu makan, minum dan lainnya ketika ia yakin telah masuk waktu shubuh. Ini berlaku bagi puasa wajib seperti puasa Ramadhan, puasa nadzar dan puasa dalam rangka menunaikan kafarot. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al Baqarah: 187). Jika mendengar adzan shubuh dan ia yakin bahwa muadzin mengumandangkannya tepat waktu ketika terbit fajar, maka wajib baginya menahan diri dari makan. Namun jika muadzin mengumandangkan adzan sebelum terbit fajar, maka tidak wajib baginya menahan diri dari makan, ia masih diperbolehkan makan dan minum sampai ia yakin telah terbit fajar shubuh. Sedangkan jika ia tidak yakin apakah muadzin mengumandangkan adzan sebelum ataukah sesudah terbit fajar, dalam kondisi semacam ini lebih utama baginya untuk menahan diri dari makan dan minum jika ia mendengar adzar. Namun tidak mengapa jika ia masih minum atau makan sesuatu ketika adzan yang ia tidak tahu tepat waktu ataukah tidak, karena memang ia tidak tahu waktu pasti terbitnya fajar.
Sebagaimana sudah diketahui bahwa jika seseorang berada di suatu negeri yang sudah mendapat penerangan dengan cahaya listrik, maka ia pasti sulit melihat langsung terbitnya fajar shubuh. Ketika itu dalam rangka kehati-hatian, ia boleh saja menjadikan jadwal-jadwal shalat yang ada sebagai tanda masuknya waktu shubuh. Hal ini karena mengamalkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tinggalkanlah hal yang meragukanmu. Berpeganglah pada hal yang tidak meragukanmu.” Begitu juga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang selamat dari syubhat, maka selamatlah agama dan kehormatannya.” Wallahu waliyyut taufiq.”
Syaikh Sholih Al Munajjid hafizhohullah mengatakan, “Tidak diragukan lagi bahwa kebanyakan muadzin saat ini berpegang pada jadwal-jadwal shalat yang ada, tanpa melihat terbitnya fajar secara langsung. Jika demikian, maka ini tidaklah dianggap sebagai terbit fajar yang yakin. Jika makan saat dikumandangkan adzan semacam itu, puasanya tetap sah. Karena ketika itu terbit fajar masih sangkaan (bukan yakin). Namun lebih hati-hatinya sudah berhenti makan ketika itu.
Hadits tersebut adalah hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمُ النِّدَاءَ وَالإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلاَ يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِىَ حَاجَتَهُ مِنْهُ
"Jika
salah seorang di antara kalian mendengar azan sedangkan sendok
terakhir masih ada di tangannya, maka janganlah dia meletakkan sendok
tersebut hingga dia menunaikan hajatnya hingga selesai."(HR. Abu Daud no. 2350)Hadits ini seakan-akan bertentangan dengan ayat,
وَكُلُوا
وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ
الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى
اللَّيْلِ
“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang
putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa
itu sampai (datang) malam.” (QS. Al Baqarah: 187). Dalam ayat ini dijelaskan bahwa Allah Ta’ala
membolehkan makan sampai terbitnya fajar shubuh saja, tidak boleh lagi
setelah itu. Lantas bagaimanakah jalan memahami hadits yang telah
disebutkan di atas?Alhamdulillah, Allah memudahkan untuk mengkaji hal ini dengan melihat kalam ulama yang ada.
Berhenti Makan Ketika Adzan Shubuh
Para ulama menjelaskan bahwa barangsiapa yang yakin akan terbitnya fajar shodiq (tanda masuk waktu shalat shubuh), maka ia wajib imsak (menahan diri dari makan dan minum serta dari setiap pembatal). Jika dalam mulutnya ternyata masih ada makanan saat itu, ia harus memuntahkannya. Jika tidak, maka batallah puasanya.
Adapun jika seseorang tidak yakin akan munculnya fajar shodiq, maka ia masih boleh makan sampai ia yakin fajar shodiq itu muncul. Begitu pula ia masih boleh makan jika ia merasa bahwa muadzin biasa mengumandangkan sebelum waktunya. Atau ia juga masih boleh makan jika ia ragu adzan dikumandangkan tepat waktu atau sebelum waktunya. Kondisi semacam ini masih dibolehkan makan sampai ia yakin sudah muncul fajar shodiq, tanda masuk waktu shalat shubuh. Namun lebih baik, ia menahan diri dari makan jika hanya sekedar mendengar kumandang adzan. Demikian keterangan dari ulama Saudi Arabia, Syaikh Sholih Al Munajjid hafizhohullah.
Pemahaman Hadits
Adapun pemahaman hadits Abu Hurairah di atas, kita dapat melihat dari dua kalam ulama berikut ini.
Pertama: Yahya bin Syarf An Nawawi rahimahullah.
Dalam Al Majmu’, An Nawawi menyebutkan,
“Kami katakan bahwa jika fajar terbit sedangkan makanan masih ada di mulut, maka hendaklah dimuntahkan dan ia boleh teruskan puasanya. Jika ia tetap menelannya padahal ia yakin telah masuk fajar, maka batallah puasanya. Permasalah ini sama sekali tidak ada perselisihan pendapat di antara para ulama. Dalil dalam masalah ini adalah hadits Ibnu ‘Umar dan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhum bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ بِلالا يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ ، فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ
“Sungguh Bilal mengumandangkan adzan di malam hari. Tetaplah kalian makan dan minum sampai Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan.” (HR. Bukhari dan Muslim. Dalam kitab Shahih terdapat beberapa hadits lainnya yang semakna)Adapun hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمْ النِّدَاءَ وَالإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلا يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ
“Jika
salah seorang di antara kalian mendengar adzan sedangkan bejana
(sendok, pen) ada di tangan kalian, maka janganlah ia letakkan hingga
ia menunaikan hajatnya.” Dalam riwayat lain disebutkan,
وكان المؤذن يؤذن إذا بزغ الفجر
“Sampai muadzin mengumandangkan adzan ketika terbit fajar.”
Al Hakim Abu ‘Abdillah meriwayatkan riwayat yang pertama. Al Hakim
katakan bahwa hadits ini shahih sesuai dengan syarat Muslim. Kedua
riwayat tadi dikeluarkan pula oleh Al Baihaqi. Kemudian Al Baihaqi
katakan, “Jika hadits tersebut shahih, maka mayoritas ulama memahaminya
bahwa adzan yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah adzan
sebelum terbit fajar shubuh, yaitu maksudnya ketika itu masih boleh
minum karena waktu itu adalah beberapa saat sebelum masuk shubuh.
Sedangkan maksud hadits “ketika terbit fajar” bisa dipahami bahwa
hadits tersebut bukan perkataan Abu Hurairah, atau bisa jadi pula yang
dimaksudkan adalah adzan kedua. Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, “Jika salah seorang di antara kalian mendengar adzan sedangkan
bejana (sendok, pen) ada di tangan kalian”, yang dimaksud adalah ketika
mendengar adzan pertama. Dari sini jadilah ada kecocokan antara
hadits Ibnu ‘Umar dan hadits ‘Aisyah.” Dari sini, sinkronlah antara
hadits-hadits yang ada. Wabiilahit taufiq, wallahu a’lam.”Kedua: Ibnu Qayyim Al Jauziyah rahimahullah.
Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan dalam Tahdzib As Sunan mengenai beberapa salaf yang berpegang pada tekstual hadits Abu Hurairah “Jika salah seorang di antara kalian mendengar adzan sedangkan bejana (sendok, pen) ada di tangan kalian, maka janganlah ia letakkan hingga ia menunaikan hajatnya”. Dari sini mereka masih membolehkan makan dan minum ketika telah dikumandangkannya adzan shubuh. Kemudian Ibnul Qayyim menjelaskan, “Mayoritas ulama melarang makan sahur ketika telah terbit fajar. Inilah pendapat empat imam madzhab dan kebanyakan mayoritas pakar fiqih di berbagai negeri.”
Catatan: Adzan saat shubuh di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu dua kali. Adzan pertama untuk membangunkan shalat malam. Adzan pertama ini dikumandangkan sebelum waktu Shubuh. Adzan kedua sebagai tanda terbitnya fajar shubuh, artinya masuknya waktu Shubuh.
Pendukung dari Atsar Sahabat
Ada beberapa riwayat yang dibawakan oleh Ibnu Hazm rahimahullah.
ومن طريق الحسن: أن عمر بن الخطاب كان يقول: إذا شك الرجلان في الفجر فليأكلا حتى يستيقنا
Dari
jalur Al Hasan, ‘Umar bin Al Khottob mengatakan, “Jika dua orang
ragu-ragu mengenai masuknya waktu shubuh, maka makanlah hingga kalian
yakin waktu shubuh telah masuk.”
ومن طريق ابن جريج عن عطاء بن أبى رباح عن ابن عباس قال: أحل الله الشراب ما شككت، يعنى في الفجر
Dari
jalur Ibnu Juraij, dari ‘Atho’ bin Abi Robbah, dari Ibnu ‘Abbas, ia
berkata, “Allah masih membolehkan untuk minum pada waktu fajar yang
engkau masih ragu-ragu.”
وعن، وكيع عن
عمارة بن زاذان عن مكحول الازدي قال: رأيت ابن عمر أخذ دلوا من زمزم وقال
لرجلين: أطلع الفجر؟ قال أحدهما: قد طلع، وقال الآخر: لا، فشرب ابن عمر
Dari
Waki’, dari ‘Amaroh bin Zadzan, dari Makhul Al Azdi, ia berkata, “Aku
melihat Ibnu ‘Umar mengambil satu timba berisi air zam-zam, lalu
beliau bertanya pada dua orang, “Apakah sudah terbit fajar shubuh?”
Salah satunya menjawab, “Sudah terbit”. Yang lainnya menjawab, “Belum.”
(Karena terbit fajarnya masih diragukan), akhirnya beliau tetap
meminum air zam-zam tersebut.”[5]Setelah Ibnu Hazm (Abu Muhammad) mengomentari hadits Abu Hurairah yang kita ingin pahami di awal tulisan ini lalu beliau membawakan beberapa atsar dalam masalah ini, sebelumnya beliau rahimahullah mengatakan,
هذا كله على أنه لم يكن يتبين لهم الفجر بعد، فبهذا تنفق السنن مع القرآن
“Riwayat
yang ada menjelaskan bahwa (masih bolehnya makan dan minum) bagi
orang yang belum yakin akan masuknya waktu Shubuh. Dari sini tidaklah
ada pertentangan antara hadits yang ada dengan ayat Al Qur’an (yang
hanya membolehkan makan sampai waktu Shubuh, pen).”[6]Sikap Lebih Hati-Hati
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah ditanya, “Apa hukum Islam mengenai seseorang yang mendengar adzan Shubuh lantas ia masih terus makan dan minum?”
Jawab beliau, “Wajib bagi setiap mukmin untuk menahan diri dari segala pembatal puasa yaitu makan, minum dan lainnya ketika ia yakin telah masuk waktu shubuh. Ini berlaku bagi puasa wajib seperti puasa Ramadhan, puasa nadzar dan puasa dalam rangka menunaikan kafarot. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al Baqarah: 187). Jika mendengar adzan shubuh dan ia yakin bahwa muadzin mengumandangkannya tepat waktu ketika terbit fajar, maka wajib baginya menahan diri dari makan. Namun jika muadzin mengumandangkan adzan sebelum terbit fajar, maka tidak wajib baginya menahan diri dari makan, ia masih diperbolehkan makan dan minum sampai ia yakin telah terbit fajar shubuh. Sedangkan jika ia tidak yakin apakah muadzin mengumandangkan adzan sebelum ataukah sesudah terbit fajar, dalam kondisi semacam ini lebih utama baginya untuk menahan diri dari makan dan minum jika ia mendengar adzar. Namun tidak mengapa jika ia masih minum atau makan sesuatu ketika adzan yang ia tidak tahu tepat waktu ataukah tidak, karena memang ia tidak tahu waktu pasti terbitnya fajar.
Sebagaimana sudah diketahui bahwa jika seseorang berada di suatu negeri yang sudah mendapat penerangan dengan cahaya listrik, maka ia pasti sulit melihat langsung terbitnya fajar shubuh. Ketika itu dalam rangka kehati-hatian, ia boleh saja menjadikan jadwal-jadwal shalat yang ada sebagai tanda masuknya waktu shubuh. Hal ini karena mengamalkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tinggalkanlah hal yang meragukanmu. Berpeganglah pada hal yang tidak meragukanmu.” Begitu juga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang selamat dari syubhat, maka selamatlah agama dan kehormatannya.” Wallahu waliyyut taufiq.”
Syaikh Sholih Al Munajjid hafizhohullah mengatakan, “Tidak diragukan lagi bahwa kebanyakan muadzin saat ini berpegang pada jadwal-jadwal shalat yang ada, tanpa melihat terbitnya fajar secara langsung. Jika demikian, maka ini tidaklah dianggap sebagai terbit fajar yang yakin. Jika makan saat dikumandangkan adzan semacam itu, puasanya tetap sah. Karena ketika itu terbit fajar masih sangkaan (bukan yakin). Namun lebih hati-hatinya sudah berhenti makan ketika itu.
Makna Zakat Fitrah
TAK terasa ramadhan sudah memasuki pertengahan bulan, sebagian umat
islam ada yang sudah bersiap-siap untuk menunaikan kewajiban lain selain
berpuasa di bulan ramadhan ini, yakni zakat fitrah. Memang istilah
zakat fitrah sudah tak asing lagi di telinga umat islam, namun tak
jarang juga yang masih belum mengerti terntang makna zakat fitrah.Hal ini dikarenakan hampir setiap tahun setiap muslim baik pria maupun
wanita yang telah memenuhi syarat wajib hukumnya untuk mengeluarkan
sebagian rezekinya untuk membayar zakat fitrah kepada mereka yang
dikategorikan sebagai Mustahiq (yang berhak menerimanya) yaitu mereka yang fakir, miskin, amil, muallaf, gharim, fisabilillah, ibnu sabil.
Lantas, apa makna dari zakat fitrah itu?
Zakat secara bahasa berarti an namaa’ (tumbuh), az ziyadah (bertambah), ash sholah (perbaikan), menjernihkan sesuatu dan sesuatu yang dikeluarkan dari pemilik untuk menyucikan dirinya.
Fitrah atau fithri sendiri berasal dari kata ifthor, artinya berbuka (tidak berpuasa). Zakat disandarkan pada kata fithri karena fithri (tidak berpuasa lagi) adalah sebab dikeluarkannya zakat tersebut.
Ada pula ulama yang menyebut zakat ini juga dengan sebutan “fithroh”, yang berarti fitrah atau naluri. Imam Nawawi mengatakan bahwa untuk harta yang dikeluarkan sebagai zakat fithri disebut dengan “fithroh”. Istilah ini digunakan oleh para pakar fikih. Sedangkan menurut istilah, zakat fithri berarti zakat yang diwajibkan karena berkaitan dengan waktu ifthor (tidak berpuasa lagi) dari bulan Ramadhan.
Sumber : E-Book Panduan Ramadhan Bekal Meraih Ramadhan Penuh Berkah, Penulis Muhammad Abduh Tuasikal, ST, MSc,
Zakat secara bahasa berarti an namaa’ (tumbuh), az ziyadah (bertambah), ash sholah (perbaikan), menjernihkan sesuatu dan sesuatu yang dikeluarkan dari pemilik untuk menyucikan dirinya.
Fitrah atau fithri sendiri berasal dari kata ifthor, artinya berbuka (tidak berpuasa). Zakat disandarkan pada kata fithri karena fithri (tidak berpuasa lagi) adalah sebab dikeluarkannya zakat tersebut.
Ada pula ulama yang menyebut zakat ini juga dengan sebutan “fithroh”, yang berarti fitrah atau naluri. Imam Nawawi mengatakan bahwa untuk harta yang dikeluarkan sebagai zakat fithri disebut dengan “fithroh”. Istilah ini digunakan oleh para pakar fikih. Sedangkan menurut istilah, zakat fithri berarti zakat yang diwajibkan karena berkaitan dengan waktu ifthor (tidak berpuasa lagi) dari bulan Ramadhan.
Adapun seorang muslim wajib membayar zakat fitrah jika sudah mencapai
nisab (standar penghitungan kekayaan minimal) dan juga haul (batas waktu
yang ditentukan) zakat.
Hukum zakat fitrah banyak tertera di berbagai ayat Al Qur'an sebagaimana tertera pada ayat-ayat berikut:
"Dan dirikanlah shalat serta tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku." (QS: Al-Baqarah 2:43)
"Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa saja
yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahalanya pada
sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan".
(QS: Al-Baqarah 2:110)
Adapun fungsi dari zakat fitrah
adalah untuk membersihkan atau menyucikan diri dari harta-harta yang
dimiliki di dunia. Jadi jelas sudah perihal kewajiban masing-masing
muslim untuk membayar zakat fitrah di bulan puasa Ramadhan. Lalu kapan zakat fitrah dibayarkan?.
Zakat Fitrah adalah zakat yang dikeluarkan pada bulan Ramadhan atau
bulan puasa yang dibayarkan paling lambat sebelum kaum muslim selesai
menunaikan ibadah sunah Shalat Ied. Dan apabila pelaksanaan zakat
dilakukan setelah melewati batas tersebut, maka zakat tersebut bukan
lagi masuk kedalam kategori zakat, akan tetapi berupa sedekah biasa.
Salah satu hadist yang memperkuat hal tersebut adalah:
"Bahwa Rasulullah memerintahkan agar zakat fitrah diberikan sebelum
orang-orang Islam pergi untuk menunaikan ibadah shalat Idul Fitri
(Shalat Ied). (Hadist Shahih Muslim 1645)"
Adapun cara dalam melakukan melakukan zakat fitrah adalah bisa dengan
membayar sebesar satu sha' (1 sha'=4 mud, 1 mud=675 gr). Perhitungan
tersebut jika di implementasikan dalam bentuk yang lebih general lagi
kira-kira setara dengan 3,5 liter atau 2.7 kg makanan pokok (tepung,
kurma, gandum, aqith) atau yang biasa dikonsumsi di daerah bersangkutan
(Mazhab syafi'i dan Maliki).
Sebagai contoh jika di Indonesia sebagian besar penduduknya mengkonsumsi
beras maka zakat bisa dibayarkan dalam bentuk beras. Zakat juga bisa
dilakukan dalam bentuk uang yang setara dengan besaran harga beras
dikalikan dengan jumlah berat beras yang wajib dibayarkan.
Zakat pun akan sempurna jika dibarengi dengan keihklasan serta niat yang tulus. Adapun bacaan niat bayar zakat adalah sebagai berikut:
![]() |
Niat bayar zakat fitrah untuk diri sendiri dan keluarga |
![]() |
Niat bayar zakat fitrah untuk orang lain |
![]() |
Ucapan doa saat menerima zakat |
Demikianlah sedikit pembahasan mengenai pengertian zakat fitrah, hukum, waktu, niat dan cara membayar zakat fitrah
yang pada kesempatan kali ini di posting oleh spektrumdunia.com yang
berhasil dirangkum dari berbagai sumber di internet yang membahas
mengenai zakat fitrah. Semoga artikel ini bisa memberikan manfaat
sekaligus referensi bagi wawasan Anda seputar kewajiban zakat fitrah di
bulan Ramadhan.
http://media-islam.or.id/2009/09/02/panduan-membayar-zakat-fitrah-dan-zakat-maal/
http://id.wikipedia.org/wiki/Zakat_Fitrah#Penerima_Zakat
(red: Media berita online)
Dimana Sajakah Tempat Tinggal Jin
SEPERTI layaknya manusia, jin pun memiliki tempat untuk ia tinggal.
Hanya saja, terkadang kita tak meyadari akan hal itu. Kebanyakan orang
berpikir bahwa jin hanyalah tinggal di pohon-pohon yang besar. Padahal,
tidak demikian adanya. Jin juga memiliki berbaga tempat yang berbeda
yang dapat ia jadikan tempat tinggal. Di mana sajakah itu?
1. Di rumah-rumah
Dari Sa’id Al Khudri dikatakan Rasulullah SAW bersabda, “Di dalam rumah terdapat penghuni-penghuni (jin) maka jika kamu melihat sesuatu (yang aneh) maka usirlah ia 3X kalau ia pergi maka biarkanlah, tapi jika ia membandel (tidak mau pergi) maka bunuhlah, sebab ia pasti jin kafir,” (HR. Muslim).
“Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada satu rumah orang muslim pun kecuali di atap rumahnya terdapat jin muslim. Apabila ia menghidangkan makanan pagi, mereka (jin) pun ikut makan pagi bersama mereka. Apabila makan sore dihidangkan, mereka (jin) juga ikut makan sore bersama orang-orang muslim. Hanya saja, Allah menjaga dan menghalangi orang-orang muslim itu dari gangguan jin-jin tersebut,” (HR. Abu Bakar dalam Kitab Fathul Bari oleh Ibnu Hajar Atsqolani).
2. Di jamban/WC
Dari Zaid bin Arqam, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya jamban-jamban (WC) itu dihuni oleh Jin,” (HR. Abu Dawud, Nasa’i, Ibnu Majah dan Ahmad).
3. Di lubang-lubang
Dari Abdullah bin Sarjas, Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah seseorang di antara kalian kencing di lubang,” Mereka bertanya kepada Qatadah, “Mengapa tidak boleh kencing di lobang?” Qatadah menjawab, “Rasulullah SAW mengatakan karena lubang itu adalah tempat tinggalnya golongan jin,” (HR. Nasai dan Ahmad).
Telah menceritakan kepada kami Ubaidullah bin Umar bin Maisarah telah menceritakan kepada kami Mu’adz bin Hisyam telah menceritakan kepada saya ayahku dari Qatadah dari Abdullah bin Sarjis bahwasanya Rasulullah SAW melarang kencing di lubang. Mereka bertanya kepada Qatadah, “Apa yang membuat kencing di lubang dilarang?” Dia menjawab, “Dikatakan bahwa ia adalah tempat tinggal jin,” (HR. Abu Daud No. 27 dan Imam Ahmad No. 19847). Nashiruddin Al-Albani mengatakan hadits ini dla’if namun Ibnu Hajar Asqolani, Yahya bin Ma’in, Al-Ajli dan Ibnu Hibban mengatakan semua perawinya tsiqoh tsabat.
4. Di padang pasir dan goa
Dari Ibnu Mas’ud ra. berkata, “Suatu hari kami (para sahabat) berkumpul bersama Rasulullah SAW tiba-tiba kami kehilangan beliau, lalu kami cari-cari di lembah-lembah dan kampung-kampung (akan tetapi kami tidak mendapatkannya). Kami lalu berkata, “Rasulullah SAW telah diculik dan disandera.” Pada malam itu, tidur kami betul-betul tidak menyenangkan. Ketika pagi hari tiba, tampak Rasulullah SAW sedang bergegas menuju kami dari arah sebuah gua yang berada di tengah padang pasir. Kami lalu berkata, “Ya Rasulullah, malam tadi kami betul-betul kehilangan engkau, lalu kami cari-cari kesana kemari akan tetapi kami tidak menemukan engkau. Lalu kami tidur dengan sangat tidak menyenangkan.” Rasulullah SAW kemudian bersabda, “Malam tadi saya didatangi oleh utusan dari kelompok Jin, ia membawa saya pergi menemui kaumnya untuk mengajarkan al-Qur’an,” (HR. Muslim).
Sahl bin Abdullah telah menceritakan ketika aku berada di salah satu kawasan tempat kaum ‘Ad tiba-tiba aku melihat suatu kota yang terbuat dari batu yang dilubangi. Di lubang batu itu yakni di tengahnya terdapat sebuah gedung yang dijadikan tempat tinggal para jin. Lalu aku memasukinya, maka tiba-tiba aku bertemu seorang yang sudah tua dan sangat besar tubuhnya sedang mengerjakan shalat. Orang tua itu memakai jubah dari bulu yang dianyam dengan sangat indahnya (Imam Ibnu Jauzi dalam Kitab Shafwatush Shafwah).
5. DI dalam air
Dari Jabir Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya iblis memiliki singgasana di atas air,” (HR. Muslim dan Ahmad, shahih menurut Imam Suyuthi).
6. Di pasar
“Janganlah kalian menjadi orang yang pertama kali masuk ke pasar atau menjadi orang yang paling akhir keluar dari pasar, karena pasar itu merupakan tempat berseterunya para syaithan. Dan di pasarlah syaithan menancapkan benderanya,” (HR. Muslim).
7. Di kandang unta
Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah kalian shalat di kandang-kandang unta karena di sana terdapat syaithan, shalatlah di kandang domba karena dia itu membawa berkah,” (HR. Muslim, Abu Dawud dan Ibnu Majah).
8. Di masjid juga ada jin
Sering kita dengar cerita bahwa orang yang melihat jin berada di dalam masjid melaksanakan shalat, atau orang yang tidur di depan mihrab kemudian terbangun dalam keadaan berada di dalam bedug atau di atas pohon (karena dipindahkan oleh jin). Maka hal itu mungkin saja karena jin-jin memang juga berada di masjid, terutama jin yang muslim mereka juga ada yang tinggal di masjid dan melaksanakan shalat di masjid.
Dari Abu Shalih dari Ibnu Abbas ra. berkata bahwa jin telah berkata kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah ijinkahlah kami (para jin) untuk ikut melakukan shalat secara berjamaah bersamamu di masjid mu.” Maka Allah menurunkan firmanNya, “Dan sesungguhnya masjid-masjid itu kepunyaan Allah, dan janganlah kalian menyembah seorangpun di dalamnya di samping menyembah Allah,” (QS. Jinn [72]: 18). (HR. Ibnu Abi Hatim dalam Tafsir Jalalain Jilid IV).
1. Di rumah-rumah
Dari Sa’id Al Khudri dikatakan Rasulullah SAW bersabda, “Di dalam rumah terdapat penghuni-penghuni (jin) maka jika kamu melihat sesuatu (yang aneh) maka usirlah ia 3X kalau ia pergi maka biarkanlah, tapi jika ia membandel (tidak mau pergi) maka bunuhlah, sebab ia pasti jin kafir,” (HR. Muslim).
“Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada satu rumah orang muslim pun kecuali di atap rumahnya terdapat jin muslim. Apabila ia menghidangkan makanan pagi, mereka (jin) pun ikut makan pagi bersama mereka. Apabila makan sore dihidangkan, mereka (jin) juga ikut makan sore bersama orang-orang muslim. Hanya saja, Allah menjaga dan menghalangi orang-orang muslim itu dari gangguan jin-jin tersebut,” (HR. Abu Bakar dalam Kitab Fathul Bari oleh Ibnu Hajar Atsqolani).
2. Di jamban/WC
Dari Zaid bin Arqam, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya jamban-jamban (WC) itu dihuni oleh Jin,” (HR. Abu Dawud, Nasa’i, Ibnu Majah dan Ahmad).
3. Di lubang-lubang
Dari Abdullah bin Sarjas, Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah seseorang di antara kalian kencing di lubang,” Mereka bertanya kepada Qatadah, “Mengapa tidak boleh kencing di lobang?” Qatadah menjawab, “Rasulullah SAW mengatakan karena lubang itu adalah tempat tinggalnya golongan jin,” (HR. Nasai dan Ahmad).
Telah menceritakan kepada kami Ubaidullah bin Umar bin Maisarah telah menceritakan kepada kami Mu’adz bin Hisyam telah menceritakan kepada saya ayahku dari Qatadah dari Abdullah bin Sarjis bahwasanya Rasulullah SAW melarang kencing di lubang. Mereka bertanya kepada Qatadah, “Apa yang membuat kencing di lubang dilarang?” Dia menjawab, “Dikatakan bahwa ia adalah tempat tinggal jin,” (HR. Abu Daud No. 27 dan Imam Ahmad No. 19847). Nashiruddin Al-Albani mengatakan hadits ini dla’if namun Ibnu Hajar Asqolani, Yahya bin Ma’in, Al-Ajli dan Ibnu Hibban mengatakan semua perawinya tsiqoh tsabat.
4. Di padang pasir dan goa
Dari Ibnu Mas’ud ra. berkata, “Suatu hari kami (para sahabat) berkumpul bersama Rasulullah SAW tiba-tiba kami kehilangan beliau, lalu kami cari-cari di lembah-lembah dan kampung-kampung (akan tetapi kami tidak mendapatkannya). Kami lalu berkata, “Rasulullah SAW telah diculik dan disandera.” Pada malam itu, tidur kami betul-betul tidak menyenangkan. Ketika pagi hari tiba, tampak Rasulullah SAW sedang bergegas menuju kami dari arah sebuah gua yang berada di tengah padang pasir. Kami lalu berkata, “Ya Rasulullah, malam tadi kami betul-betul kehilangan engkau, lalu kami cari-cari kesana kemari akan tetapi kami tidak menemukan engkau. Lalu kami tidur dengan sangat tidak menyenangkan.” Rasulullah SAW kemudian bersabda, “Malam tadi saya didatangi oleh utusan dari kelompok Jin, ia membawa saya pergi menemui kaumnya untuk mengajarkan al-Qur’an,” (HR. Muslim).
Sahl bin Abdullah telah menceritakan ketika aku berada di salah satu kawasan tempat kaum ‘Ad tiba-tiba aku melihat suatu kota yang terbuat dari batu yang dilubangi. Di lubang batu itu yakni di tengahnya terdapat sebuah gedung yang dijadikan tempat tinggal para jin. Lalu aku memasukinya, maka tiba-tiba aku bertemu seorang yang sudah tua dan sangat besar tubuhnya sedang mengerjakan shalat. Orang tua itu memakai jubah dari bulu yang dianyam dengan sangat indahnya (Imam Ibnu Jauzi dalam Kitab Shafwatush Shafwah).
5. DI dalam air
Dari Jabir Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya iblis memiliki singgasana di atas air,” (HR. Muslim dan Ahmad, shahih menurut Imam Suyuthi).
6. Di pasar
“Janganlah kalian menjadi orang yang pertama kali masuk ke pasar atau menjadi orang yang paling akhir keluar dari pasar, karena pasar itu merupakan tempat berseterunya para syaithan. Dan di pasarlah syaithan menancapkan benderanya,” (HR. Muslim).
7. Di kandang unta
Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah kalian shalat di kandang-kandang unta karena di sana terdapat syaithan, shalatlah di kandang domba karena dia itu membawa berkah,” (HR. Muslim, Abu Dawud dan Ibnu Majah).
8. Di masjid juga ada jin
Sering kita dengar cerita bahwa orang yang melihat jin berada di dalam masjid melaksanakan shalat, atau orang yang tidur di depan mihrab kemudian terbangun dalam keadaan berada di dalam bedug atau di atas pohon (karena dipindahkan oleh jin). Maka hal itu mungkin saja karena jin-jin memang juga berada di masjid, terutama jin yang muslim mereka juga ada yang tinggal di masjid dan melaksanakan shalat di masjid.
Dari Abu Shalih dari Ibnu Abbas ra. berkata bahwa jin telah berkata kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah ijinkahlah kami (para jin) untuk ikut melakukan shalat secara berjamaah bersamamu di masjid mu.” Maka Allah menurunkan firmanNya, “Dan sesungguhnya masjid-masjid itu kepunyaan Allah, dan janganlah kalian menyembah seorangpun di dalamnya di samping menyembah Allah,” (QS. Jinn [72]: 18). (HR. Ibnu Abi Hatim dalam Tafsir Jalalain Jilid IV).
Takut,Menangis Dan Tertawanya Jin
JIN dan manusia memiliki perbedaan derajat. Manusia lebih tinggi
derajatnya dari pada jin. Karena itulah sebenarnya jin sangat takut pada
manusia. Namun karena jin berhasil menakut-nakuti manusia maka manusia
menjadi takut pada jin. Sebagai seorang muslim seharusnya kita tidak
boleh takut sama jin, tetapi kita pun tidak menantang jin, namun jika
jin mengganggu manusia sudah sewajarnya manusia untuk melawannya.
“Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah syaitan yang menakut-nakuti (kamu) dengan kawan-kawannya (orang-orang musyrik Quraisy), karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepadaKu, jika kamu benar-benar orang yang beriman,” (QS. Ali Imran 3:175).
Mujahid berkata: “Syaithan itu sebenarnya sangat takut oleh salah seorang dari kalian (manusia). Oleh karena itu, apabila kamu mendapatinya, janganlah takut karena kalau takut, ia akan menunggangi kalian (mengganggu), akan tetapi kerasi (kasarilah), pasti ia akan pergi,” (Riwayat Ibn Abi Dunya).
“Mujahid berkata: ‘Sesungguhnya setan dan jin kafir itu takut oleh kalian sebagaimana kalian takut oleh mereka,” (Riwayat Ibnu Abi Dunya).
“Imam Mujahid berkata: ‘Suatu malam ketika saya sedang melaksanakan shalat, tiba-tiba muncul makhluk sebesar anak laki-laki di hadapan saya. Lalu saya desak dia untuk ditangkap. Akan tetapi ia bangun dan lompat ke belakang dinding sehingga saya mendengar jatuhnya. Setelah itu, ia tidak penah datang lagi,” (Riwayat Ibnu Abi Dunya).
Tertawa dan Menangisnya Jin
Dalam sebuah hadits dikatakan bahwa setan akan tertawa ketika seseorang menguap dengan mengeluarkan suara misalnya; “euuuay” atau “haaaa”. Hadits bahwa setan tertawa adalah:
“Abu Hurairah berkata, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah menyukai bersin dan membenci nguap. Apabila seseorang bersin lalu mengucapkan al-hamdulillah, maka muslim yang mendengarnya harus mendoakannya. Adapun menguap datangnya dari setan, karenanya tahanlah sedapat mungkin. Apabila ia menguap terus keluar suara ‘haaa’, maka setan akan tertawa,” (HR. Bukhari dan lainnya).
Sementara setan akan menangis ketika seseorang membaca surat as-Sajdah dan ketika sampai pada ayat sajdahnya yakni ayat yang ke-15, ia melaksanakan Sujud Sajdah. Hal ini sebagaimana dikatakan dalam sebuah hadits.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Apabila anak Adam membaca surat as-Sajdah kemudian ia sujud sajdah (ketika membaca ayat sajdahnya ayat ke-15), maka setan akan pergi menangis sambil berkata: ‘Aduh celaka dan sialnya nasibku’ Bani Adam diperintah sujud, maka kemudian dia sujud maka baginya syurga, sedangkan aku ketika diperintah sujud aku menolak maka bagiku neraka,” (HR. Muslim). [akhirzaman]
“Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah syaitan yang menakut-nakuti (kamu) dengan kawan-kawannya (orang-orang musyrik Quraisy), karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepadaKu, jika kamu benar-benar orang yang beriman,” (QS. Ali Imran 3:175).
Mujahid berkata: “Syaithan itu sebenarnya sangat takut oleh salah seorang dari kalian (manusia). Oleh karena itu, apabila kamu mendapatinya, janganlah takut karena kalau takut, ia akan menunggangi kalian (mengganggu), akan tetapi kerasi (kasarilah), pasti ia akan pergi,” (Riwayat Ibn Abi Dunya).
“Mujahid berkata: ‘Sesungguhnya setan dan jin kafir itu takut oleh kalian sebagaimana kalian takut oleh mereka,” (Riwayat Ibnu Abi Dunya).
“Imam Mujahid berkata: ‘Suatu malam ketika saya sedang melaksanakan shalat, tiba-tiba muncul makhluk sebesar anak laki-laki di hadapan saya. Lalu saya desak dia untuk ditangkap. Akan tetapi ia bangun dan lompat ke belakang dinding sehingga saya mendengar jatuhnya. Setelah itu, ia tidak penah datang lagi,” (Riwayat Ibnu Abi Dunya).
Tertawa dan Menangisnya Jin
Dalam sebuah hadits dikatakan bahwa setan akan tertawa ketika seseorang menguap dengan mengeluarkan suara misalnya; “euuuay” atau “haaaa”. Hadits bahwa setan tertawa adalah:
“Abu Hurairah berkata, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah menyukai bersin dan membenci nguap. Apabila seseorang bersin lalu mengucapkan al-hamdulillah, maka muslim yang mendengarnya harus mendoakannya. Adapun menguap datangnya dari setan, karenanya tahanlah sedapat mungkin. Apabila ia menguap terus keluar suara ‘haaa’, maka setan akan tertawa,” (HR. Bukhari dan lainnya).
Sementara setan akan menangis ketika seseorang membaca surat as-Sajdah dan ketika sampai pada ayat sajdahnya yakni ayat yang ke-15, ia melaksanakan Sujud Sajdah. Hal ini sebagaimana dikatakan dalam sebuah hadits.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Apabila anak Adam membaca surat as-Sajdah kemudian ia sujud sajdah (ketika membaca ayat sajdahnya ayat ke-15), maka setan akan pergi menangis sambil berkata: ‘Aduh celaka dan sialnya nasibku’ Bani Adam diperintah sujud, maka kemudian dia sujud maka baginya syurga, sedangkan aku ketika diperintah sujud aku menolak maka bagiku neraka,” (HR. Muslim). [akhirzaman]
Jin Masuk Dalam Tubuh Manusia Melalui Jalan Darah
DIRIWAYATKAN dari Sofiah binti Huyai r.a berkata: Pada suatu malam
ketika Nabi SAW sedang beriktikaf aku datang menghampiri baginda.
Setelah puas berbincang-bincang dengan baginda, akupun berdiri untuk
pulang. Rasulullah SAW ikut berdiri untuk mengantarku. Tempat tinggal
Sofiah adalah di rumah Usamah bin Zaid. Tiba-tiba datang dua orang
Ansar. Ketika mereka melihat Nabi SAW mereka mempercepatkan langkahnya.
Lalu Nabi saw bersabda: “Perlahankanlah langkahmu. Sesungguhnya ini
adalah Sofiah binti Huyai.”
Kedua orang ansor itu berkata, “Maha suci Allah, wahai Rasulullah.” Lalu Rasulullah s.a.w bersabda: “Sesungguhnya setan itu berjalan pada aliran darah manusia Sebenarnya aku khawatir ada tuduhan buruk atau yang tidak baik dalam hati kamu berdua,” (Riwayat Bukhori di dalam Kitab
I’tikaf hadits nomor 1894, 1897, 1898. – Etika hadits nomor 5751. / Riwayat Muslim di dalam Kitab Salam hadits nomor 4041. / Riwayat Abu Dawud di dalam Kitab Etika hadits nomor 4342. 4. Riwayat Ibnu Majah di dalam Kitab Puasa hadits nomor 1769).
Ternyata jin bisa keluar masuk dalam tubuh kita dengan sekehendak hati mereka. Mereka bisa tinggal di mana saja dalam jaringan urat darah kita yang mereka kehendaki, padahal kita tidak pernah merasakan keberadaan mereka.
Barangkali kita semua memang harus diruqyah, supaya jin yang tinggal dalam urat darah kita itu tidak membelokkan aqidah Islamiyah kita, sehingga kita terhindar dari perbuatan syirik dan bid’ah, tidak terkecuali orang-orang yang ahli meruqyah?
Jin mempunyai kemampuan untuk masuk ke pembuluh darah yang memiliki sifat seperti sentruman yang dapat mengalir ke tubuh. Jin juga dapat membisik-bisiki, memanas-manasi, dan membakar hati manusia supaya menuruti hawa nafsunya. Jin menyusup melalui peredaran darah untuk mengganggu mekanisme tubuh dan jin menguasai frekuensi gelombang otak untuk mempengaruhi sistem syaraf yang berhubungan dengan pikiran,emosi, dan gerakan.
Jin yang masuk ke dalam pembuluh darah langsung menuju otak dan melalui otak, jin bisa mempengaruhi bagian mana saja karena memang dia sudah menguasai otak. Ini dibuktikan oleh medis bahwa para penderita kesurupan memiliki gelombang otak yang sangat halus dan aneh.
Kesimpulannya, jika benar jin berjasad halus seperti udara, maka tidak mustahil bagi jin untuk masuk ke tubuh manusia seperti udara dan nafas keluar-masuk tubuh manusa. Ia masuk ke tubuh manusia seperti uang dimasukkan ke dalam amplop.
Al-Qadhi Abdul Jabbar al-Hamadzani berkata: “jika benar kesimpulan kami bahwa jin berjasad halus seperti udara, maka tidak mustahil baginya untuk masuk ke tubuh manusia sebagaimana udara dan nafas keluar masuk ke tubuh manusia. Hal ini tidak mengakibatkan bertumpuknya beberapa subtansi dalam satu wadah karena hal tersebut tidak akan ketemu kecuali dengan cara beriringan, bukan dengan cara menyatu. Ia masuk ke tubuh manusia seperti uang masuk ke dalam amplop.
Kedua orang ansor itu berkata, “Maha suci Allah, wahai Rasulullah.” Lalu Rasulullah s.a.w bersabda: “Sesungguhnya setan itu berjalan pada aliran darah manusia Sebenarnya aku khawatir ada tuduhan buruk atau yang tidak baik dalam hati kamu berdua,” (Riwayat Bukhori di dalam Kitab
I’tikaf hadits nomor 1894, 1897, 1898. – Etika hadits nomor 5751. / Riwayat Muslim di dalam Kitab Salam hadits nomor 4041. / Riwayat Abu Dawud di dalam Kitab Etika hadits nomor 4342. 4. Riwayat Ibnu Majah di dalam Kitab Puasa hadits nomor 1769).
Ternyata jin bisa keluar masuk dalam tubuh kita dengan sekehendak hati mereka. Mereka bisa tinggal di mana saja dalam jaringan urat darah kita yang mereka kehendaki, padahal kita tidak pernah merasakan keberadaan mereka.
Barangkali kita semua memang harus diruqyah, supaya jin yang tinggal dalam urat darah kita itu tidak membelokkan aqidah Islamiyah kita, sehingga kita terhindar dari perbuatan syirik dan bid’ah, tidak terkecuali orang-orang yang ahli meruqyah?
Jin mempunyai kemampuan untuk masuk ke pembuluh darah yang memiliki sifat seperti sentruman yang dapat mengalir ke tubuh. Jin juga dapat membisik-bisiki, memanas-manasi, dan membakar hati manusia supaya menuruti hawa nafsunya. Jin menyusup melalui peredaran darah untuk mengganggu mekanisme tubuh dan jin menguasai frekuensi gelombang otak untuk mempengaruhi sistem syaraf yang berhubungan dengan pikiran,emosi, dan gerakan.
Jin yang masuk ke dalam pembuluh darah langsung menuju otak dan melalui otak, jin bisa mempengaruhi bagian mana saja karena memang dia sudah menguasai otak. Ini dibuktikan oleh medis bahwa para penderita kesurupan memiliki gelombang otak yang sangat halus dan aneh.
Kesimpulannya, jika benar jin berjasad halus seperti udara, maka tidak mustahil bagi jin untuk masuk ke tubuh manusia seperti udara dan nafas keluar-masuk tubuh manusa. Ia masuk ke tubuh manusia seperti uang dimasukkan ke dalam amplop.
Al-Qadhi Abdul Jabbar al-Hamadzani berkata: “jika benar kesimpulan kami bahwa jin berjasad halus seperti udara, maka tidak mustahil baginya untuk masuk ke tubuh manusia sebagaimana udara dan nafas keluar masuk ke tubuh manusia. Hal ini tidak mengakibatkan bertumpuknya beberapa subtansi dalam satu wadah karena hal tersebut tidak akan ketemu kecuali dengan cara beriringan, bukan dengan cara menyatu. Ia masuk ke tubuh manusia seperti uang masuk ke dalam amplop.
Langganan:
Postingan (Atom)