Translate

Jumat, 10 Juli 2015

Meraih Sabar Tanpa Batas Di Bulan Ramadhan

Tak ada manusia yang sempurna di dunia ini. Ia selalu berlumur dosa. Namun demikian Allah dengan sifatnya Al-Ghafur, yang artinya Yang Maha Pengampun, senantiasa mengampuni segala dosa hambaNya yang memohon ampun dan menyadari dosa-dosanya.
Bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh rahmat, ampunan, pembebasan dari neraka, dan bulan untuk melakukan kebaikan. Karena itu dosa manusia banyak diampuni di bulan ini. Bahkan bulan Ramadhan juga merupakan bulan kesabaran yang sudah pasti surga jaminan pahalanya,Amalan puasa akan dilipatgandakan oleh Allah Swt hingga berlipat-lipat tanpa ada batasan bilangan.Kenapa bisa demikian? Ibnu Rajab Al Hambali –semoga Allah merahmati beliau- mengatakan,”Karena puasa adalah bagian dari kesabaran”. Mengenai ganjaran orang yang bersabar, sebagaimana yang disebutkan dalam Surat Az-Zumar/39:10
 Allah Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala tanpa batas.”(QS. Az Zumar: 10)



Dijelaskan dalam beberapa hadist, Puasa Ramadhan merupakan perisai atau benteng serta penghalang dari dosa dan kemaksiatan, serta pelindung dari neraka. Namun demikian, puasa yang dimaksud bukanlah sekedar menahan lapar dan dahaga di bulan Ramadhan. Atau bahkan ingin pamer, mendapatkan sanjungan dari orang lain, mengikuti adat atau mengikuti niat orang banyak. Tetapi puasa yang dimaksud adalah semata-mata meluruskan niat untuk ibadah kepada Allah dan mengharapkan ridho serta pahala dariNya.
Sebagaimana diriwayatkan dalam hadist Al-Bukhari dan Muslim, yang artinya sebagai berikut :
“Barangsiapa yang berpuasa karena iman dan ingin mendapatkan pahala, maka diampuni semua dosanya yang telah lewat.”
Alangkah baiknya bila seseorang yang melaksanakan puasa di bulan Ramadhan ditambah dengan amalan shalat malam, maka ia akan kembali suci seperti layaknya seorang bayi yang baru dilahirkan. Dan Rasullullah SAW-pun bersabda, yang artinya:
Sesungguhnya Allah mewajibkan puasa Ramadhan dan saya menyunnahkan bagi kalian shalat malamnya. Maka barang siapa melaksanakan ibadah puasa dan shalat malamnya karena iman dank arena ingin mendapatkan pahala, niscaya dia keluar dari dosa-dosanya sebagaimana saat dia dilahirkan oleh ibundanya.” 

Sabar itu ada tiga macam yaitu (1) sabar dalam melakukan ketaatan kepada Allah, (2) sabar dalam meninggalkan yang haram dan (3) sabar dalam menghadapi takdir yang terasa menyakitkan. Ketiga macam bentuk sabar ini, semuanya terdapat dalam amalan puasa. Dalam puasa tentu saja ada bentuk melakukan ketaatan dan menjauhi hal-hal yang diharamkan.
Juga dalam puasa seseorang berusaha bersabar dari hal-hal yang menyakitkan seperti menahan diri dari rasa lapar, dahaga, dan lemahnya badan. Maka, kita dapat meraih pahala yang tak terhingga jika kita mampu untuk bersabar dalam segala hal.

Bila seorang muslim telah melakukan hal yang demikian di bulan Ramadhan, ini sama halnya ia menjaga waktu siangnya dengan puasa, menjaga waktu malamnya dengan shalat tarawih ditambah shalat malam, semata-mata untuk mendapat ridho Allah SWT. Puasa adalah sarana memperbanyak sabar. Sedangkan sabar sendiri adalah bagian dari iman. Dengan berpuasa manusia akan sabar menahan lapar dan dahaga dari shubuh hingga menjelang maghrib.
Lantas mengapa puasa termasuk sebagian dari sabar? Justru sabar inilah yang membedakan manusia dengan makhluk lain, seperti hewan dalam hal nafsu syahwat. Dengan sabar, manusia akan meninggalkan segala perbuatan yang berbau nafsu syahwat. Arti sabar sendiri mengandung dua makna, yaitu makna positif yang artinya selalu menjalankan perintah Allah, dan makna preventif, yang artinya mencegah atau berusaha menghindari perbuatan jahat yang penuh angkara murka.
Dengan sabar, diharapkan setiap muslim akan senantiasa menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, sehingga terhindar dari sifat keangkaramurkaan, meski dalam kondisi sedang menghadapi cobaan dari-Nya. Dan sabar memang tiada batasnya. Hanya orang-orang yang sabar dan senantiasa berimanlah yang mampu menghadapi cobaan yang datangnya bertubi-tubi. Puasa Ramadhan adalah ujian kesabaran, dimana setiap muslim diuji kemampuannya untuk tidak sekedar mengikuti hawa nafsunya, minimal ia mampu menahan lapar dan dahaga mulai dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari. Dan sudah pasti dengan berpuasa, setiap muslim akan dapat mengambil hikmah dari ibadah yang telah dijalankannya.
Dengan demikian ada beberapa nilai yang terkandung dalam puasa, diantaranya:
1. Nilai spiritual: adalah sebuah kesadaran bahwa setiap umat muslim selalu dekat dengan Allah SWT, sehingga ia merasa dirinya benar-benar dalam pengawasan-Nya.
2. Nilai moral: adalah sebuah kesadaran untuk selalu berbuat baik dan meninggalkan perbuatan yang tidak baik.
3. Nilai sosial: adalah kesadaran untuk membantu sesama yang membutuhkan melalui shadaqah, infaq, atau zakat baik dalam keadaan sempit atau longgar.
Lalu apa makna puasa dibalik menjaga kesabaran? Dengan menjaga kesabaran di bulan Ramadhan, tentunya akan tergerak untuk menjaga amanah dalam menjalankan ibadah puasa. Sudah barang tentu puasa yang dengan penuh sabar, iman dan menjaga amanah-lah yang benar-benar diridhoi Allah. Dan yang dimaksud dengan puasa untuk menjaga amanah, dibedakan dalam dua hal, yaitu: menjaga makanan dan menjaga pakaian.
Makanan bagaimana yang sebaiknya di makan saat berbuka puasa? Tentunya makanan yang halal, aman dan proporsional, dengan kata lain ketika menyantap hidangan berbuka tidak yang berlebih-lebihan tetapi menyehatkan, mengandung gizi seimbang dan aman untuk dikonsumsi. Tidak mengandung bahan yang membahayan, juga tidak mengandung bahan yang menimbulkan penyakit.
Sedangkan menjaga pakaian, tentunya ketika menjalankan Ibadah puasa, sebagai umat muslim sebaiknya menunjukkan identitas kemuslimannya, terutama dengan menutup aurat dan menjauhkan dari pandangan maksiat.
Demikian juga tidak memakai perhiasan yang terlalu mencolok, agar tidak menimbulkan fitnah yang membatalkan puasa. Puasa Ramadhan selain menahan lapar dan dahaga, dapat juga diartikan puasa mulut, puasa pandangan, dan puasa seluruh anggota badan.
Lantas, apa saja yang bisa dilakukan sembari mengisi waktu berpuasa? Meski seluruh anggota badan diwajibkan berpuasa, namun tidak dianjurkan bagi setiap muslim untuk tidur sepanjang hari. Alangkah baiknya bila ia mampu mengisi hari-harinya dengan kegiatan yang bermanfaat, tentunya dengan harapan mendapatkan ridho dari-Nya.


Do'a Pada Malam Lailatul Qadar

Lailatul Qadar atau Lailatul Al-Qadar adalah malam penting yang hanya terjadi di bulan ramadhan dan malam lailatul Qadar juga malam yang dimuliakan Allah SWT melibihi malam malam lainya.
Malam Lailatul Qadar terjadi pada 1 malam ganjil pada 10 malam terakhir di bulan Ramadhan (Malam ke 21, 23, 25, 27, atau 29): Pendapat yang paling kuat, terjadinya malam Lailatul Qadr itu pada 10 malam terakhir bulan Ramadhan: Aisyah r.a. berkata, “Rasulullah ber’itikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, dan beliau bersabda, ‘Carilah malam qadar pada malam ganjil dari sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan. (HR Bukhari dan HR Muslim)
Diriwayatkan bahwa ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha berkata, “Wahai Rasulullah, apa yang sebaiknya aku baca bila bertepatan dengan malam Lailatul Qadar?” Rasulullah bersabda: “Bacalah:
اللَّهُمَّ إنَّك عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي

Bacaan Doa Pada Malam Lailatul Qadar dalam Bahasa Indonesia
Allahumma Innaka 'Afuwwun, Tuhibbul 'Afwa, Fa'fu 'Anni
Terjemahan Doa Pada Malam Lailatul Qadar
"Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemberi ampunan dan menyukai orang yang memohon ampunan, maka ampunilah aku." (HR: At-Tirmidzi 3760, Ibnu Majah 3850, Ahmad VI/171, Al-Hakim I/530 dan An-Nasa'i dalam Amalul Yaum wal Lailah, silahkan lihat Shahih Jami' At-Tirmidzi).

Apa do’a yang dianjurkan banyak dibaca pada malam lailatul qadar?
Ada do’a yang pernah diajarkan oleh Rasul kita shallallahu ‘alaihi wa sallam jikalau kita bertemu dengan malam kemuliaan tersebut yaitu do’a: Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu’anni (Ya Allah, Engkau Maha Pemaaf dan Engkau mencintai orang yang meminta maaf, karenanya maafkanlah aku).
 عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ عَلِمْتُ أَىُّ لَيْلَةٍ لَيْلَةُ الْقَدْرِ مَا أَقُولُ فِيهَا قَالَ  قُولِى اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّى
Dari ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anha-, ia berkata, “Aku pernah bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu jika saja ada suatu hari yang aku tahu bahwa malam tersebut adalah lailatul qadar, lantas apa do’a yang mesti kuucapkan?” Jawab Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Berdo’alah: Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu’anni (Ya Allah, Engkau Maha Pemaaf dan Engkau mencintai orang yang meminta maaf, karenanya maafkanlah aku).” (HR. Tirmidzi no. 3513 dan Ibnu Majah no. 3850. Abu ‘Isa At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih). Hadits ini dibawakan oleh Imam Tirmidzi dalam bab “Keutamaan meminta maaf dan ampunan pada Allah”. Hadits di atas disebutkan pula oleh Ibnu Hajar dalam Bulughul Marom pada hadits no. 706.
Maksud dari “innaka ‘afuwwun” adalah yang banyak memberi maaf. Demikian kata penulis kitab Tuhfatul Ahwadzi.
Para ulama menyimpulkan dari hadits di atas tentang anjuran memperbanyak do’a “Allahumma innaka ‘afuwwun …” pada malam yang diharap terdapat lailatul qadar. Do’a di atas begitu jaami’ (komplit dan syarat makna) walau terlihat singkat. Do’a tersebut mengandung ketundukan hamba pada Allah dan pernyataan bahwa dia tidak bisa luput dari dosa. Namun sekali lagi meminta ampunan seperti ini tidaklah terbatas pada bulan Ramadhan saja.
Al Baihaqi rahimahullah berkata, “Meminta maaf atas kesalahan dianjurkan setiap waktu dan tidak khusus di malam lailatul qadar saja.” (Fadho-ilul Awqot, hal. 258).
Ibnu Rajab rahimahullah juga memberi penjelasan menarik,
و إنما أمر بسؤال العفو في ليلة القدر بعد الإجتهاد في الأعمال فيها و في ليالي العشر لأن العارفين يجتهدون في الأعمال ثم لا يرون لأنفسهم عملا صالحا و لا حالا و لا مقالا فيرجعون إلى سؤال العفو كحال المذنب المقصر
“Dianjurkan banyak meminta maaf atau ampunan pada Allah di malam lailatul qadar setelah sebelumnya giat beramal di malam-malam Ramadhan dan juga di sepuluh malam terakhir. Karena orang yang arif adalah yang bersungguh-sungguh dalam beramal, namun dia masih menganggap bahwa amalan yang ia lakukan bukanlah amalan, keadaan atau ucapan yang baik (sholih). Oleh karenanya, ia banyak meminta ampun pada Allah seperti orang yang penuh kekurangan karena dosa.”
Yahya bin Mu’adz pernah berkata,
ليس بعارف من لم يكن غاية أمله من الله العفو
Bukanlah orang yang arif jika ia tidak pernah mengharap ampunan Allah.” (Lathoiful Ma’arif, hal. 362-363).
Hadits ‘Aisyah di atas juga menunjukkan bahwa do’a di malam lailatul qadar adalah do’a yang mustajab sehingga dia bertanya pada Rasul mengenai do’a apa yang mesti dipanjatkan di malam tersebut.
Hadits ‘Aisyah juga menunjukkan bahwa jika seseorang berdo’a pada Allah diperantarai dengan tawassul melalui nama-nama Allah. Seperti dalam do’a terlebih dahulu memuji Allah dengan ‘Allahumma innaka ‘afuwwun, yaitu Ya Allah yang Maha Pemberi Maaf’. Bentuk do’a semacam ini adalah bertawassul terlebih dahulu dengan nama atau sifat  Allah yang sesuai dengan isi do’a.
Dalil di atas juga menunjukkan bahwa sifat ‘afwu (pemaaf) adalah di antara sifat Allah. Maksud ‘afwu adalah memaafkan dosa yang diperbuat hamba. Begitu pula hadits tersebut menetapkan sifat mahabbah (cinta) bagi Allah. Penetapa sifat di sini adalah sesuai dengan keagungan Allah, tanpa dimisalkan dengan makhluk dan tanpa ditolak maknanya. Wallahu a’lam.

Hukum Sahur Saat Adzan Subuh Berkumandang

Bulan Puasa adalah bulan di mana kita menahan apa yang membatalkan puasa dari sebelum terbitnya fajar sampai tenggelamnya Matahari.
Puasa terdiri dari berbuka dan sahur. Apabila azan Magrib telah berkumandang maka kita di wajibkan untuk berbuka puasa. Lalu kita sahur pada waktu sebelum azan Subuh.
Mungkin banyak di antara kita yang kesiangan bangun sahur atau telah melewati waktu imsak, sehingga ketika azan Subuh telah berkumandang kita masih mengunyah makanan.
Lalu pertanyaannya, sah kah puasa kita? Atau sampai batas manakah kita di bolehkan untuk mengunyah santapan sahur kita.
Jika diantara kamu mendengar azan subuh telah berkumandang, sedang makanan dan minuman berada di tanganmu, maka hendaknya kamu jangan meletakkannya sebelum menelan makanmu." (Hadits Shahih, HR Abu Daud dan Ahmad).
Maksud hadis di atas adalah apabila kamu makan sahur sementara azan Subuh telah berkumandang maka hendaklah kamu menyelesaikan makanan yang ada di mulutmu jangan memuntahkannya.

Kedua, jika kita sedang mengunyah makanan atau meneguk air, dan azan subuh telah berkumandang sementara masih ada sisa makanan atau minuman di piring kita maka hendaklah kita menghentikan makan kita, apabila kita teruskan maka batallah puasa kita.
Dalil tersebut terdapat dalam firman Allah SWT ("Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar." (Al Baqarah: 187). 
Ayat di atas tersebut menyuruh kita untuk Berhenti makan sahur ketika fajar datang atau azan subuh telah berkumandang. Hal itu artinya wajib kita lakukan dan apabila kita langgar maka batallah puasa kita. 
 Suatu hal yang membuat kami rancu adalah ketika mendengar hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang secara tekstual jika kami perhatikan menunjukkan masih bolehnya makan ketika adzan shubuh.
Hadits tersebut adalah hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمُ النِّدَاءَ وَالإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلاَ يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِىَ حَاجَتَهُ مِنْهُ
"Jika salah seorang di antara kalian mendengar azan sedangkan sendok terakhir masih ada di tangannya, maka janganlah dia meletakkan sendok tersebut hingga dia menunaikan hajatnya hingga selesai."(HR. Abu Daud no. 2350)
Hadits ini seakan-akan bertentangan dengan ayat,

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al Baqarah: 187). Dalam ayat ini dijelaskan bahwa Allah Ta’ala membolehkan makan sampai terbitnya fajar shubuh saja, tidak boleh lagi setelah itu. Lantas bagaimanakah jalan memahami hadits yang telah disebutkan di atas?
Alhamdulillah, Allah memudahkan untuk mengkaji hal ini dengan melihat kalam ulama yang ada.

Berhenti Makan Ketika Adzan Shubuh
Para ulama menjelaskan bahwa barangsiapa yang yakin akan terbitnya fajar shodiq (tanda masuk waktu shalat shubuh), maka ia wajib imsak (menahan diri dari makan dan minum serta dari setiap pembatal). Jika dalam mulutnya ternyata masih ada makanan saat itu, ia harus memuntahkannya. Jika tidak, maka batallah puasanya.
Adapun jika seseorang tidak yakin akan munculnya fajar shodiq, maka ia masih boleh makan sampai ia yakin fajar shodiq itu muncul. Begitu pula ia masih boleh makan jika ia merasa bahwa muadzin biasa mengumandangkan sebelum waktunya. Atau ia juga masih boleh makan jika ia ragu adzan dikumandangkan tepat waktu atau sebelum waktunya. Kondisi semacam ini masih dibolehkan makan sampai ia yakin sudah muncul fajar shodiq, tanda masuk waktu shalat shubuh. Namun lebih baik, ia menahan diri dari makan jika hanya sekedar mendengar kumandang adzan. Demikian keterangan dari ulama Saudi Arabia, Syaikh Sholih Al Munajjid hafizhohullah.
Pemahaman Hadits
Adapun pemahaman hadits Abu Hurairah di atas, kita dapat melihat dari dua kalam ulama berikut ini.

Pertama: Yahya bin Syarf An Nawawi rahimahullah.
Dalam Al Majmu’, An Nawawi menyebutkan,
“Kami katakan bahwa jika fajar terbit sedangkan makanan masih ada di mulut, maka hendaklah dimuntahkan dan ia boleh teruskan puasanya. Jika ia tetap menelannya padahal ia yakin telah masuk fajar, maka batallah puasanya. Permasalah ini sama sekali tidak ada perselisihan pendapat di antara para ulama. Dalil dalam masalah ini adalah hadits Ibnu ‘Umar dan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhum bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ بِلالا يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ ، فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ
Sungguh Bilal mengumandangkan adzan di malam hari. Tetaplah kalian makan dan minum sampai Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan.” (HR. Bukhari dan Muslim. Dalam kitab Shahih terdapat beberapa hadits lainnya yang semakna)
Adapun hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمْ النِّدَاءَ وَالإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلا يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ
Jika salah seorang di antara kalian mendengar adzan sedangkan bejana (sendok, pen) ada di tangan kalian, maka janganlah ia letakkan hingga ia menunaikan hajatnya.” Dalam riwayat lain disebutkan,
وكان المؤذن يؤذن إذا بزغ الفجر
Sampai muadzin mengumandangkan adzan ketika terbit fajar.” Al Hakim Abu ‘Abdillah meriwayatkan riwayat yang pertama. Al Hakim katakan bahwa hadits ini shahih sesuai dengan syarat Muslim. Kedua riwayat tadi dikeluarkan pula oleh Al Baihaqi. Kemudian Al Baihaqi katakan, “Jika hadits tersebut shahih, maka mayoritas ulama memahaminya bahwa adzan yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah adzan sebelum terbit fajar shubuh, yaitu maksudnya ketika itu masih boleh minum karena waktu itu adalah beberapa saat sebelum masuk shubuh. Sedangkan maksud hadits “ketika terbit fajar” bisa dipahami bahwa hadits tersebut bukan perkataan Abu Hurairah, atau bisa jadi pula yang dimaksudkan adalah adzan kedua. Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jika salah seorang di antara kalian mendengar adzan sedangkan bejana (sendok, pen) ada di tangan kalian”, yang dimaksud adalah ketika mendengar adzan pertama. Dari sini jadilah ada kecocokan antara hadits Ibnu ‘Umar dan hadits ‘Aisyah.” Dari sini, sinkronlah antara hadits-hadits yang ada. Wabiilahit taufiq, wallahu a’lam.”

Kedua: Ibnu Qayyim Al Jauziyah rahimahullah.
Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan dalam Tahdzib As Sunan mengenai beberapa salaf yang berpegang pada tekstual hadits Abu Hurairah “Jika salah seorang di antara kalian mendengar adzan sedangkan bejana (sendok, pen) ada di tangan kalian, maka janganlah ia letakkan hingga ia menunaikan hajatnya”. Dari sini mereka masih membolehkan makan dan minum ketika telah dikumandangkannya adzan shubuh. Kemudian Ibnul Qayyim menjelaskan, “Mayoritas ulama melarang makan sahur ketika telah terbit fajar. Inilah pendapat empat imam madzhab dan kebanyakan mayoritas pakar fiqih di berbagai negeri.”
Catatan: Adzan saat shubuh di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu dua kali. Adzan pertama  untuk membangunkan shalat malam. Adzan pertama ini dikumandangkan sebelum waktu Shubuh. Adzan kedua sebagai tanda terbitnya fajar shubuh, artinya masuknya waktu Shubuh.

Pendukung dari Atsar Sahabat
Ada beberapa riwayat yang dibawakan oleh Ibnu Hazm rahimahullah.
ومن طريق الحسن: أن عمر بن الخطاب كان يقول: إذا شك الرجلان في الفجر فليأكلا حتى يستيقنا
Dari jalur Al Hasan, ‘Umar bin Al Khottob mengatakan, “Jika dua orang ragu-ragu mengenai masuknya waktu shubuh, maka makanlah hingga kalian yakin waktu shubuh telah masuk.”
ومن طريق ابن جريج عن عطاء بن أبى رباح عن ابن عباس قال: أحل الله الشراب ما شككت، يعنى في الفجر
Dari jalur Ibnu Juraij, dari ‘Atho’ bin Abi Robbah, dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata, “Allah masih membolehkan untuk minum pada waktu fajar yang engkau masih ragu-ragu.”
وعن، وكيع عن عمارة بن زاذان عن مكحول الازدي قال: رأيت ابن عمر أخذ دلوا من زمزم وقال لرجلين: أطلع الفجر؟ قال أحدهما: قد طلع، وقال الآخر: لا، فشرب ابن عمر
Dari Waki’, dari ‘Amaroh bin Zadzan, dari Makhul Al Azdi, ia berkata, “Aku melihat Ibnu ‘Umar mengambil satu timba berisi air zam-zam, lalu beliau bertanya pada dua orang, “Apakah sudah terbit fajar shubuh?” Salah satunya menjawab, “Sudah terbit”. Yang lainnya menjawab, “Belum.” (Karena terbit fajarnya masih diragukan), akhirnya beliau tetap meminum air zam-zam tersebut.”[5]
Setelah Ibnu Hazm (Abu Muhammad) mengomentari hadits Abu Hurairah yang kita ingin pahami di awal tulisan ini lalu beliau membawakan beberapa atsar dalam masalah ini, sebelumnya beliau rahimahullah mengatakan,
هذا كله على أنه لم يكن يتبين لهم الفجر بعد، فبهذا تنفق السنن مع القرآن
“Riwayat yang ada menjelaskan bahwa (masih bolehnya makan dan minum) bagi orang yang belum yakin akan masuknya waktu Shubuh. Dari sini tidaklah ada pertentangan antara hadits yang ada dengan ayat Al Qur’an (yang hanya membolehkan makan sampai waktu Shubuh, pen).”[6]

Sikap Lebih Hati-Hati
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah ditanya, “Apa hukum Islam mengenai seseorang yang mendengar adzan Shubuh lantas ia masih terus makan dan minum?”
Jawab beliau, “Wajib bagi setiap mukmin untuk menahan diri dari segala pembatal puasa yaitu makan, minum dan lainnya ketika ia yakin telah masuk waktu shubuh. Ini berlaku bagi puasa wajib seperti puasa Ramadhan, puasa nadzar dan puasa dalam rangka menunaikan kafarot. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al Baqarah: 187). Jika mendengar adzan shubuh dan ia yakin bahwa muadzin mengumandangkannya tepat waktu ketika terbit fajar, maka wajib baginya menahan diri dari makan. Namun jika muadzin mengumandangkan adzan sebelum terbit fajar, maka tidak wajib baginya menahan diri dari makan, ia masih diperbolehkan makan dan minum sampai ia yakin telah terbit fajar shubuh. Sedangkan jika ia tidak yakin apakah muadzin mengumandangkan adzan sebelum ataukah sesudah terbit fajar, dalam kondisi semacam ini lebih utama baginya untuk menahan diri dari makan dan minum jika ia mendengar adzar. Namun tidak mengapa jika ia masih minum atau makan sesuatu ketika adzan yang ia tidak tahu tepat waktu ataukah tidak, karena memang ia tidak tahu waktu pasti terbitnya fajar.
Sebagaimana sudah diketahui bahwa jika seseorang berada di suatu negeri yang sudah mendapat penerangan dengan cahaya listrik, maka ia pasti sulit melihat langsung terbitnya fajar shubuh. Ketika itu dalam rangka kehati-hatian, ia boleh saja menjadikan jadwal-jadwal shalat yang ada sebagai tanda masuknya waktu shubuh. Hal ini karena mengamalkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tinggalkanlah hal yang meragukanmu. Berpeganglah pada hal yang tidak meragukanmu.” Begitu juga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang selamat dari syubhat, maka selamatlah agama dan kehormatannya.” Wallahu waliyyut taufiq.”
Syaikh Sholih Al Munajjid hafizhohullah mengatakan, Tidak diragukan lagi bahwa kebanyakan muadzin saat ini berpegang pada jadwal-jadwal shalat yang ada, tanpa melihat terbitnya fajar secara langsung. Jika demikian, maka ini tidaklah dianggap sebagai terbit fajar yang yakin. Jika makan saat dikumandangkan adzan semacam itu, puasanya tetap sah. Karena ketika itu terbit fajar masih sangkaan (bukan yakin). Namun lebih hati-hatinya sudah berhenti makan ketika itu.

Makna Zakat Fitrah

TAK terasa ramadhan sudah memasuki pertengahan bulan, sebagian umat islam ada yang sudah bersiap-siap untuk menunaikan kewajiban lain selain berpuasa di bulan ramadhan ini, yakni zakat fitrah. Memang istilah zakat fitrah sudah tak asing lagi di telinga umat islam, namun tak jarang juga yang masih belum mengerti terntang makna zakat fitrah.Hal ini dikarenakan hampir setiap tahun setiap muslim baik pria maupun wanita yang telah memenuhi syarat wajib hukumnya untuk mengeluarkan sebagian rezekinya untuk membayar zakat fitrah kepada mereka yang dikategorikan sebagai Mustahiq (yang berhak menerimanya) yaitu mereka yang fakir, miskin, amil, muallaf, gharim, fisabilillah, ibnu sabil. Lantas, apa makna dari zakat fitrah itu?
Zakat secara bahasa berarti an namaa’ (tumbuh), az ziyadah (bertambah), ash sholah (perbaikan), menjernihkan sesuatu dan sesuatu yang dikeluarkan dari pemilik untuk menyucikan dirinya.
Fitrah atau fithri sendiri berasal dari kata ifthor, artinya berbuka (tidak berpuasa). Zakat disandarkan pada kata fithri karena fithri (tidak berpuasa lagi) adalah sebab dikeluarkannya zakat tersebut.
Ada pula ulama yang menyebut zakat ini juga dengan sebutan “fithroh”, yang berarti fitrah atau naluri. Imam Nawawi mengatakan bahwa untuk harta yang dikeluarkan sebagai zakat fithri disebut dengan “fithroh”. Istilah ini digunakan oleh para pakar fikih. Sedangkan menurut istilah, zakat fithri berarti zakat yang diwajibkan karena berkaitan dengan waktu ifthor (tidak berpuasa lagi) dari bulan Ramadhan.
Adapun seorang muslim wajib membayar zakat fitrah jika sudah mencapai nisab (standar penghitungan kekayaan minimal) dan juga haul (batas waktu yang ditentukan) zakat.
Hukum zakat fitrah banyak tertera di berbagai ayat Al Qur'an sebagaimana tertera pada ayat-ayat berikut:
"Dan dirikanlah shalat serta tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku." (QS: Al-Baqarah 2:43)
"Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahalanya pada sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan". (QS: Al-Baqarah 2:110)
Adapun fungsi dari zakat fitrah adalah untuk membersihkan atau menyucikan diri dari harta-harta yang dimiliki di dunia. Jadi jelas sudah perihal kewajiban masing-masing muslim untuk membayar zakat fitrah di bulan puasa Ramadhan. Lalu kapan zakat fitrah dibayarkan?.
Zakat Fitrah adalah zakat yang dikeluarkan pada bulan Ramadhan atau bulan puasa yang dibayarkan paling lambat sebelum kaum muslim selesai menunaikan ibadah sunah Shalat Ied. Dan apabila pelaksanaan zakat dilakukan setelah melewati batas tersebut, maka zakat tersebut bukan lagi masuk kedalam kategori zakat, akan tetapi berupa sedekah biasa. Salah satu hadist yang memperkuat hal tersebut adalah: 
"Bahwa Rasulullah memerintahkan agar zakat fitrah diberikan sebelum orang-orang Islam pergi untuk menunaikan ibadah shalat Idul Fitri (Shalat Ied). (Hadist Shahih Muslim 1645)"
Adapun cara dalam melakukan melakukan zakat fitrah adalah bisa dengan membayar sebesar satu sha' (1 sha'=4 mud, 1 mud=675 gr). Perhitungan tersebut jika di implementasikan dalam bentuk yang lebih general lagi kira-kira setara dengan 3,5 liter atau 2.7 kg makanan pokok (tepung, kurma, gandum, aqith) atau yang biasa dikonsumsi di daerah bersangkutan (Mazhab syafi'i dan Maliki).
Sebagai contoh jika di Indonesia sebagian besar penduduknya mengkonsumsi beras maka zakat bisa dibayarkan dalam bentuk beras. Zakat juga bisa dilakukan dalam bentuk uang yang setara dengan besaran harga beras dikalikan dengan jumlah berat beras yang wajib dibayarkan.
Zakat pun akan sempurna jika dibarengi dengan keihklasan serta niat yang tulus. Adapun bacaan niat bayar zakat adalah sebagai berikut:
Pengertian zakat fitrah, hukum, waktu, niat dan cara membayar zakat fitrah
Niat bayar zakat fitrah untuk diri sendiri dan keluarga
Pengertian zakat fitrah, hukum, waktu, niat dan cara membayar zakat fitrah
Niat bayar zakat fitrah untuk orang lain
Pengertian zakat fitrah, hukum, waktu, niat dan cara membayar zakat fitrah
Ucapan doa saat menerima zakat
Demikianlah sedikit pembahasan mengenai pengertian zakat fitrah, hukum, waktu, niat dan cara membayar zakat fitrah yang pada kesempatan kali ini di posting oleh spektrumdunia.com yang berhasil dirangkum dari berbagai sumber di internet yang membahas mengenai zakat fitrah. Semoga artikel ini bisa memberikan manfaat sekaligus referensi bagi wawasan Anda seputar kewajiban zakat fitrah di bulan Ramadhan.
 Sumber : E-Book Panduan Ramadhan Bekal Meraih Ramadhan Penuh Berkah, Penulis Muhammad Abduh Tuasikal, ST, MSc,
http://media-islam.or.id/2009/09/02/panduan-membayar-zakat-fitrah-dan-zakat-maal/
http://id.wikipedia.org/wiki/Zakat_Fitrah#Penerima_Zakat
(red: Media berita online)

Dimana Sajakah Tempat Tinggal Jin

SEPERTI layaknya manusia, jin pun memiliki tempat untuk ia tinggal. Hanya saja, terkadang kita tak meyadari akan hal itu. Kebanyakan orang berpikir bahwa jin hanyalah tinggal di pohon-pohon yang besar. Padahal, tidak demikian adanya. Jin juga memiliki berbaga tempat yang berbeda yang dapat ia jadikan tempat tinggal. Di mana sajakah itu?
1. Di rumah-rumah
Dari Sa’id Al Khudri dikatakan Rasulullah SAW bersabda, “Di dalam rumah terdapat penghuni-penghuni (jin) maka jika kamu melihat sesuatu (yang aneh) maka usirlah ia 3X kalau ia pergi maka biarkanlah, tapi jika ia membandel (tidak mau pergi) maka bunuhlah, sebab ia pasti jin kafir,” (HR. Muslim).
“Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada satu rumah orang muslim pun kecuali di atap rumahnya terdapat jin muslim. Apabila ia menghidangkan makanan pagi, mereka (jin) pun ikut makan pagi bersama mereka. Apabila makan sore dihidangkan, mereka (jin) juga ikut makan sore bersama orang-orang muslim. Hanya saja, Allah menjaga dan menghalangi orang-orang muslim itu dari gangguan jin-jin tersebut,” (HR. Abu Bakar dalam Kitab Fathul Bari oleh Ibnu Hajar Atsqolani).
2. Di jamban/WC
Dari Zaid bin Arqam, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya jamban-jamban (WC) itu dihuni oleh Jin,” (HR. Abu Dawud, Nasa’i, Ibnu Majah dan Ahmad).
3. Di lubang-lubang
Dari Abdullah bin Sarjas, Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah seseorang di antara kalian kencing di lubang,” Mereka bertanya kepada Qatadah, “Mengapa tidak boleh kencing di lobang?” Qatadah menjawab, “Rasulullah SAW mengatakan karena lubang itu adalah tempat tinggalnya golongan jin,” (HR. Nasai dan Ahmad).
Telah menceritakan kepada kami Ubaidullah bin Umar bin Maisarah telah menceritakan kepada kami Mu’adz bin Hisyam telah menceritakan kepada saya ayahku dari Qatadah dari Abdullah bin Sarjis bahwasanya Rasulullah SAW melarang kencing di lubang. Mereka bertanya kepada Qatadah, “Apa yang membuat kencing di lubang dilarang?” Dia menjawab, “Dikatakan bahwa ia adalah tempat tinggal jin,” (HR. Abu Daud No. 27 dan Imam Ahmad No. 19847). Nashiruddin Al-Albani mengatakan hadits ini dla’if namun Ibnu Hajar Asqolani, Yahya bin Ma’in, Al-Ajli dan Ibnu Hibban mengatakan semua perawinya tsiqoh tsabat.
4. Di padang pasir dan goa
Dari Ibnu Mas’ud ra. berkata, “Suatu hari kami (para sahabat) berkumpul bersama Rasulullah SAW tiba-tiba kami kehilangan beliau, lalu kami cari-cari di lembah-lembah dan kampung-kampung (akan tetapi kami tidak mendapatkannya). Kami lalu berkata, “Rasulullah SAW telah diculik dan disandera.” Pada malam itu, tidur kami betul-betul tidak menyenangkan. Ketika pagi hari tiba, tampak Rasulullah SAW sedang bergegas menuju kami dari arah sebuah gua yang berada di tengah padang pasir. Kami lalu berkata, “Ya Rasulullah, malam tadi kami betul-betul kehilangan engkau, lalu kami cari-cari kesana kemari akan tetapi kami tidak menemukan engkau. Lalu kami tidur dengan sangat tidak menyenangkan.” Rasulullah SAW kemudian bersabda, “Malam tadi saya didatangi oleh utusan dari kelompok Jin, ia membawa saya pergi menemui kaumnya untuk mengajarkan al-Qur’an,” (HR. Muslim).
Sahl bin Abdullah telah menceritakan ketika aku berada di salah satu kawasan tempat kaum ‘Ad tiba-tiba aku melihat suatu kota yang terbuat dari batu yang dilubangi. Di lubang batu itu yakni di tengahnya terdapat sebuah gedung yang dijadikan tempat tinggal para jin. Lalu aku memasukinya, maka tiba-tiba aku bertemu seorang yang sudah tua dan sangat besar tubuhnya sedang mengerjakan shalat. Orang tua itu memakai jubah dari bulu yang dianyam dengan sangat indahnya (Imam Ibnu Jauzi dalam Kitab Shafwatush Shafwah).
5. DI dalam air
Dari Jabir Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya iblis memiliki singgasana di atas air,” (HR. Muslim dan Ahmad, shahih menurut Imam Suyuthi).
6. Di pasar
“Janganlah kalian menjadi orang yang pertama kali masuk ke pasar atau menjadi orang yang paling akhir keluar dari pasar, karena pasar itu merupakan tempat berseterunya para syaithan. Dan di pasarlah syaithan menancapkan benderanya,” (HR. Muslim).
7. Di kandang unta
Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah kalian shalat di kandang-kandang unta karena di sana terdapat syaithan, shalatlah di kandang domba karena dia itu membawa berkah,” (HR. Muslim, Abu Dawud dan Ibnu Majah).
8. Di masjid juga ada jin
Sering kita dengar cerita bahwa orang yang melihat jin berada di dalam masjid melaksanakan shalat, atau orang yang tidur di depan mihrab kemudian terbangun dalam keadaan berada di dalam bedug atau di atas pohon (karena dipindahkan oleh jin). Maka hal itu mungkin saja karena jin-jin memang juga berada di masjid, terutama jin yang muslim mereka juga ada yang tinggal di masjid dan melaksanakan shalat di masjid.
Dari Abu Shalih dari Ibnu Abbas ra. berkata bahwa jin telah berkata kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah ijinkahlah kami (para jin) untuk ikut melakukan shalat secara berjamaah bersamamu di masjid mu.” Maka Allah menurunkan firmanNya, “Dan sesungguhnya masjid-masjid itu kepunyaan Allah, dan janganlah kalian menyembah seorangpun di dalamnya di samping menyembah Allah,” (QS. Jinn [72]: 18). (HR. Ibnu Abi Hatim dalam Tafsir Jalalain Jilid IV).

Takut,Menangis Dan Tertawanya Jin

JIN dan manusia memiliki perbedaan derajat. Manusia lebih tinggi derajatnya dari pada jin. Karena itulah sebenarnya jin sangat takut pada manusia. Namun karena jin berhasil menakut-nakuti manusia maka manusia menjadi takut pada jin. Sebagai seorang muslim seharusnya kita tidak boleh takut sama jin, tetapi kita pun tidak menantang jin, namun jika jin mengganggu manusia sudah sewajarnya manusia untuk melawannya.
“Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah syaitan yang menakut-nakuti (kamu) dengan kawan-kawannya (orang-orang musyrik Quraisy), karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepadaKu, jika kamu benar-benar orang yang beriman,” (QS. Ali Imran 3:175).
Mujahid berkata: “Syaithan itu sebenarnya sangat takut oleh salah seorang dari kalian (manusia). Oleh karena itu, apabila kamu mendapatinya, janganlah takut karena kalau takut, ia akan menunggangi kalian (mengganggu), akan tetapi kerasi (kasarilah), pasti ia akan pergi,” (Riwayat Ibn Abi Dunya).
“Mujahid berkata: ‘Sesungguhnya setan dan jin kafir itu takut oleh kalian sebagaimana kalian takut oleh mereka,” (Riwayat Ibnu Abi Dunya).
“Imam Mujahid berkata: ‘Suatu malam ketika saya sedang melaksanakan shalat, tiba-tiba muncul makhluk sebesar anak laki-laki di hadapan saya. Lalu saya desak dia untuk ditangkap. Akan tetapi ia bangun dan lompat ke belakang dinding sehingga saya mendengar jatuhnya. Setelah itu, ia tidak penah datang lagi,” (Riwayat Ibnu Abi Dunya).

Tertawa dan Menangisnya Jin
Dalam sebuah hadits dikatakan bahwa setan akan tertawa ketika seseorang menguap dengan mengeluarkan suara misalnya; “euuuay” atau “haaaa”. Hadits bahwa setan tertawa adalah:
“Abu Hurairah berkata, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah menyukai bersin dan membenci nguap. Apabila seseorang bersin lalu mengucapkan al-hamdulillah, maka muslim yang mendengarnya harus mendoakannya. Adapun menguap datangnya dari setan, karenanya tahanlah sedapat mungkin. Apabila ia menguap terus keluar suara ‘haaa’, maka setan akan tertawa,” (HR. Bukhari dan lainnya).
Sementara setan akan menangis ketika seseorang membaca surat as-Sajdah dan ketika sampai pada ayat sajdahnya yakni ayat yang ke-15, ia melaksanakan Sujud Sajdah. Hal ini sebagaimana dikatakan dalam sebuah hadits.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Apabila anak Adam membaca surat as-Sajdah kemudian ia sujud sajdah (ketika membaca ayat sajdahnya ayat ke-15), maka setan akan pergi menangis sambil berkata: ‘Aduh celaka dan sialnya nasibku’ Bani Adam diperintah sujud, maka kemudian dia sujud maka baginya syurga, sedangkan aku ketika diperintah sujud aku menolak maka bagiku neraka,” (HR. Muslim). [akhirzaman]

Jin Masuk Dalam Tubuh Manusia Melalui Jalan Darah

DIRIWAYATKAN dari Sofiah binti Huyai r.a berkata: Pada suatu malam ketika Nabi SAW sedang beriktikaf aku datang menghampiri baginda. Setelah puas berbincang-bincang dengan baginda, akupun berdiri untuk pulang. Rasulullah SAW ikut berdiri untuk mengantarku. Tempat tinggal Sofiah adalah di rumah Usamah bin Zaid. Tiba-tiba datang dua orang Ansar. Ketika mereka melihat Nabi SAW mereka mempercepatkan langkahnya. Lalu Nabi saw bersabda: “Perlahankanlah langkahmu. Sesungguhnya ini adalah Sofiah binti Huyai.”
Kedua orang ansor itu berkata, “Maha suci Allah, wahai Rasulullah.” Lalu Rasulullah s.a.w bersabda: “Sesungguhnya setan itu berjalan pada aliran darah manusia Sebenarnya aku khawatir ada tuduhan buruk atau yang tidak baik dalam hati kamu berdua,” (Riwayat Bukhori di dalam Kitab
I’tikaf hadits nomor 1894, 1897, 1898. – Etika hadits nomor 5751.
/ Riwayat Muslim di dalam Kitab Salam hadits nomor 4041.
/ Riwayat Abu Dawud di dalam Kitab Etika hadits nomor 4342.
4. Riwayat Ibnu Majah di dalam Kitab Puasa hadits nomor 1769).
Ternyata jin bisa keluar masuk dalam tubuh kita dengan sekehendak hati mereka. Mereka bisa tinggal di mana saja dalam jaringan urat darah kita yang mereka kehendaki, padahal kita tidak pernah merasakan keberadaan mereka.

Barangkali kita semua memang harus diruqyah, supaya jin yang tinggal dalam urat darah kita itu tidak membelokkan aqidah Islamiyah kita, sehingga kita terhindar dari perbuatan syirik dan bid’ah, tidak terkecuali orang-orang yang ahli meruqyah?
Jin mempunyai kemampuan untuk masuk ke pembuluh darah yang memiliki sifat seperti sentruman yang dapat mengalir ke tubuh. Jin juga dapat membisik-bisiki, memanas-manasi, dan membakar hati manusia supaya menuruti hawa nafsunya. Jin menyusup melalui peredaran darah untuk mengganggu mekanisme tubuh dan jin menguasai frekuensi gelombang otak untuk mempengaruhi sistem syaraf yang berhubungan dengan pikiran,emosi, dan gerakan.
Jin yang masuk ke dalam pembuluh darah langsung menuju otak dan melalui otak, jin bisa mempengaruhi bagian mana saja karena memang dia sudah menguasai otak. Ini dibuktikan oleh medis bahwa para penderita kesurupan memiliki gelombang otak yang sangat halus dan aneh.
Kesimpulannya, jika benar jin berjasad halus seperti udara, maka tidak mustahil bagi jin untuk masuk ke tubuh manusia seperti udara dan nafas keluar-masuk tubuh manusa. Ia masuk ke tubuh manusia seperti uang dimasukkan ke dalam amplop.
Al-Qadhi Abdul Jabbar al-Hamadzani berkata: “jika benar kesimpulan kami bahwa jin berjasad halus seperti udara, maka tidak mustahil baginya untuk masuk ke tubuh manusia sebagaimana udara dan nafas keluar masuk ke tubuh manusia. Hal ini tidak mengakibatkan bertumpuknya beberapa subtansi dalam satu wadah karena hal tersebut tidak akan ketemu kecuali dengan cara beriringan, bukan dengan cara menyatu. Ia masuk ke tubuh manusia seperti uang masuk ke dalam amplop.