Translate

Rabu, 01 Juli 2015

Keluarga Teladan Dalam Islam

Keluarga merupakan kelompok terkecil dalam
sebuah tatanan masyarakat. Oleh karena
masyarakat adalah himpunan dari beberapa
keluarga maka baik buruknya sebuah masyarakat
sangat bergantung kepada baik buruknya
keluarga. Keluarga yang baik adalah awal dari
masyarakat yang sejahtera. Sebaliknya, keluarga
yang amburadul adalah pertanda hancurnya
sebuah masyarakat. Individu-individu yang baik
akan membentuk keluarga yang harmonis.
Keluarga-keluarga yang harmonis akan
mewujudkan masyarakat yang aman dan damai.
Selanjutnya masyarakat-masyarakat yang damai
akan mengantarkan kepada negara yang kokoh
dan sejahtera. Maka, jika ingin mewujudkan
negara yang kokoh dan sejahtera bangunlah
masyarakat yang damai. Dan jika ingin
menciptakan masyarakat yang damai binalah
keluarga-keluarga yang baik dan harmonis.
Mengingat begitu pentingnya peranan keluarga
dalam menciptakan masyarakat yang baik dan
sejahtera maka Islam memberikan perhatian yang
sangat besar pada pembinaan keluarga. Karena -
seperti disinggung di atas- seandainya instrumen
terpenting dalam masyarakat ini tidak dibina
dengan baik dan benar, adalah mustahil
mengharapkan terwujudnya sebuah tatanan
masyarakat idaman.
Dalam Al-Qur'an banyak terdapat potret keluarga
sepanjang zaman. Ada potret keluarga saleh dan
ada juga potret keluarga celaka. Potret-potret
keluarga tersebut meskipun terjadi pada masa
dan lingkungan yang berbeda dengan masa saat
ini, akan tetapi ia tetap mengandung banyak
hikmah dan pelajaran berharga yang senantiasa
kekal sepanjang zaman. Dalam tulisan sederhana
ini, kita akan mengetengahkan beberapa potret
keluarga teladan dalam Al-Qur'an untuk
kemudian kita petik hikmah dan pelajaran-pelaj
aran berharganya.
Pertama: Keluarga Imran
Satu-satunya surat dalam Al-Qur'an yang diberi
nama dengan nama sebuah keluarga adalah surat
Ali Imran (keluarga Imran). Tentunya bukan
sebuah kebetulan nama keluarga ini dipilih
menjadi salah satu nama surat terpanjang dalam
Al-Qur'an. Di samping untuk menekankan
pentingnya pembinaan keluarga, pemilihan nama
ini juga mengandung banyak pelajaran yang dapat
dipetik dari potret keluarga Imran.
Satu hal yang unik adalah bahwa profil Imran
sendiri -yang namanya diabadikan menjadi nama
surat ini- tidak pernah disinggung sama sekali.
Yang banyak dibicarakan justru adalah istri Imran
(imra'atu Imran) dan puterinya; Maryam. Hal ini
seolah mengajarkan kita bahwa keberhasilan
seorang kepala rumah tangga dalam membawa
anggota keluarganya menjadi individu-individu
yang saleh dan salehah tidak serta merta akan
menjadikan profilnya dikenal luas dan kesohor.
Boleh jadi dirinya tidak dikenal orang -kecuali
hanya sekedar nama- tetapi rumah tangga yang
dipimpinnya telah menjadi sebuah rumah tangga
yang sukses dan teladan banyak orang. Hikmah
ini juga mengingatkan kita pentingnya
mensucikan niat dalam setiap amal perbuatan
untuk semata-mata mengharap ridha Allah swt.,
bukan ingin dikenal sebagai seorang kepala
tangga yang sukses, ingin dipuji dan sebagainya.
Niat sangat menentukan kualitas dan kontinuitas
amal yang dilakukan. Orang yang niatnya dalam
beramal hanya untuk memperoleh sesuatu -baik
berupa pujian, penghargaan, materi dan
sebagainya- maka amalnya akan berhenti setelah
ia merasa telah memperoleh apa yang ia
angankan. Berbeda dengan orang yang beramal
karena mengharap ridha Allah. Ia akan senantiasa
beramal tanpa kenal lelah atau putus asa karena
ia tidak tahu apakah ridha Allah yang ia harapkan
itu sudah ia gapai atau belum.
Dikisahkan bahwa Imran dan istrinya sudah
berusia lanjut. Akan tetapi keduanya belum juga
dikaruniai seorang anak. Maka istri Imran
bernazar, seandainya ia dikaruniai Allah seorang
anak ia akan serahkan anaknya itu untuk menjadi
pelayan rumah Allah (Baitul Maqdis). Nazar itu ia
ikrarkan karena ia sangat berharap agar anak
yang akan dikaruniakan Allah itu adalah laki-laki
sehingga bisa menjadi khadim (pelayan) yang
baik di Baitul Maqdis. Ternyata anak yang
dilahirkannya adalah perempuan. Istri Imran tidak
dapat berbuat apa-apa. Allah swt. telah
menakdirkan anaknya adalah perempuan dan ia
tetap wajib melaksanakan nazarnya. Ia tidak
mengetahui bahwa anak perempuan yang
dilahirkannya itu bukanlah anak biasa. Karena ia
yang kelak akan menjadi ibu dari seorang nabi
dan rasul pilihan Allah. Setelah itu, anak
perempuan -yang kemudian diberi nama Maryam-
tersebut diasuh dan dididik oleh Zakaria yang
juga seorang Nabi dan Rasul, serta masih
terhitung kerabat dekat Imran. Kisah ini dapat
dilihat pada surat Ali Imran ayat 35-37.
Ada beberapa pelajaran berharga yang dapat
dipetik dari potret keluarga Imran ini:
Satu: Apa yang menjadi keinginan besar dari istri
Imran adalah bagaimana anaknya kelak menjadi
abdi Allah seutuhnya. Bahkan, sebelum anaknya
lahir ia telah bernazar bahwa anaknya akan
diserahkan untuk menjadi pelayan di rumah Allah.
[1] Selayaknya, setiap orang tua muslim memiliki
orientasi seperti halnya ibu Maryam ini. Ia tidak
risau dengan nasib anaknya secara duniawi
karena ia yakin bahwa setiap anak yang lahir
sudah Allah jamin rezekinya. Apa yang menjadi
buah pikirannya adalah bagaimana anaknya
mendapatkan lingkungan yang baik untuk
menjaga agama dan kehormatannya. Dengan
orientasi seperti ini tidak mengherankan bila
putrinya Maryam tumbuh menjadi seorang wanita
yang paling suci di muka bumi. Lebih dari itu, ia
dimuliakan oleh Allah dengan menjadi ibu dari
seorang Nabi dan Rasul yang mulia; Isa bin
Maryam melalui sebuah mukjizat yang luar biasa
yaitu melahirkan anak tanpa seorang suami.
Maka, orientasi orang tua tehadap anaknya
adalah sesuatu yang sangat penting sebagaimana
pentingnya membekali mereka dengan nilai-nilai
keimanan sejak kecil.
Dua: Ketabahan dan kesabaran istri Imran dalam
menerima takdir Allah swt. ketika anak yang
dilahirkannya ternyata perempuan dan bukan laki-
laki sebagaimana yang ia harapkan. Kesabaran
dan sikap tawakal menerima keputusan Allah ini
ternyata menyimpan rahasia yang agung bahwa
kelak anak perempuan tersebut akan menjadi ibu
seorang Nabi dan Rasul. Alangkah perlunya sikap
ini diteladani oleh setiap keluarga muslim,
terutama yang akan dikaruniai seorang anak.
Boleh jadi apa yang Allah takdirkan berbeda
dengan apa yang diharapkan. Namun yang akan
berlaku tetaplah takdir Allah, suka atau tidak
suka. Maka, kewajiban seorang muslim saat itu
adalah menerima segala takdir Allah itu dengan
lapang dada dan suka cita, karena Allah tidak
akan menakdirkan sesuatu kecuali itulah yang
terbaik bagi hamba-Nya.
Tiga: Maryam kecil akhirnya diasuh oleh Zakaria
yang masih famili dekat dengan Imran. Tentu saja
asuhan dan didikan Zakaria -yang juga seorang
Nabi dan Rasul ini- sangat berdampak positif
bagi pertumbuhan diri dan karakter Maryam,
sehingga ia tumbuh menjadi seorang gadis yang
suci dan terjaga harga dirinya. Dikisahkan bahwa
ketika malaikat Jibril menemuinya dalam rupa
seorang lelaki untuk memberi kabar gembira
kepadanya tentang ia akan dikaruniai seorang
putra, Maryam menjadi sangat takut melihat
sosok lelaki asing yang tiba-tiba hadir di
hadapannya. Hal itu tak lain karena ia memang
tidak pernah bergaul dengan laki-laki manapun
yang bukan mahramnya. Inilah sifat iffah
(menjaga diri) yang didapat Maryam dari hasil
didikan Zakaria. Untuk itu, setiap orang tua
muslim selayaknya memilih lingkungan dan para
pendidik yang baik bagi anak-anaknya, apalagi di
usia-usia sekolah yang akan sangat menentukan
pembentukan karakter dan pribadinya di masa-
masa akan datang.
Seandainya orang tua keliru dalam memilih
lingkungan dan sarana pendidikan bagi anak-
anaknya, maka kelak akan timbul penyesalan
ketika melihat anak-anaknya jauh dari tuntunan
etika dan akhlak yang mulia.
Kedua: Keluarga Nabi Ibrahim as.
Barangkali dari sekian potret keluarga yang
disinggung dalam Al-Qur'an, keluarga Nabi
Ibrahimlah yang banyak mendapat sorotan.
Bahkan dimulai sejak Ibrahim masih muda ketika
ia dengan gagah berani menghancurkan berhala-
berhala kaum musyrikin sampai ia dikaruniai anak
di masa-masa senjanya. Keluarga Nabi Ibrahim
as. termasuk keluarga pilihan di seluruh alam
semesta. Sebagaimana disebutkan dalam surat
Ali Imran ayat 33: "Sesungguhnya Allah telah
memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan
keluarga Imran di seluruh alam semesta." Akan
tetapi, kita hanya akan mengambil beberapa
episode saja dari rangkaian sejarah keluarga Nabi
Ibrahim di dalam Al-Qur'an.
Episode paling terkenal dari kisah Nabi Ibrahim
adalah ketika Allah swt. mengaruniakan seorang
putra kepadanya di saat usianya sudah sangat
lanjut, sementara istrinya adalah seorang yang
mandul. Namun Allah swt. Maha Kuasa untuk
berbuat apa saja, sekalipun hal itu melanggar
undang-undang alam (sunan kauniyah), karena
toh alam itu sendiri Dia yang menciptakan.
Ibrahim yang sudah renta dan istrinya yang
mandul akhirnya memperoleh seorang putra yang
diberi nama Ismail. Penantian yang sekian lama
membuat Ibrahim sangat mencintai anak semata
wayangnya itu. Tapi, Allah swt. ingin menguji
imannya melalui sebuah mimpi -yang bagi para
nabi adalah wahyu-. Ibrahim diperintahkan untuk
menyembelih anaknya. Sebelum melaksanakan
perintah itu, terjadi dialog yang sangat harmonis
dan menyentuh hati antara anak dan bapak.
Ternyata, sang anak dengan hati yang tegar siap
menjalani semua kehendak Allah. Ia bersedia
disembelih oleh ayahnya demi menjalankan
perintah Allah swt. Ketegaran sang ayah untuk
menyembelih sang anak dan kesabaran sang anak
menjalani semua itu telah membuat mereka
berhasil menempuh ujian yang maha berat
tersebut. Allah swt. menebus Ismail dengan
seekor domba, dan peristiwa bersejarah itu
diabadikan dalam rangkaian ibadah korban pada
hari Idul Adha. Kisah ini direkam dalam Al-Qur'an
surat ash-Shaffaat ayat 100-107.
Ada beberapa pelajaran yang ingin kita petik dari
penggalan kisah keluarga Nabi Ibrahim as. ini:
Satu: Dialog yang baik dan harmonis antara
seorang ayah dan anaknya. Meskipun Ibrahim
meyakini bahwa perintah menyembelih anaknya
itu mesti dilaksanakan, akan tetapi Ibrahim tetap
melakukan dialog bersama putranya untuk
meminta pendapatnya. Inilah barangkali yang
mulai hilang dari keluarga muslim saat ini. Posisi
anak dalam keluarga cenderung diabaikan dan
dipandang sebelah mata. Anak seolah hanya
berkewajiban untuk sekedar menuruti segala
perintah orang tua tanpa memiliki hak bicara dan
berpendapat sedikitpun. Akhirnya hubungan orang
tua dengan anak ibarat hubungan atasan dengan
bawahan. Hubungan seperti ini apabila dibiarkan
terus berlanjut akan menghambat perkembangan
karakter dan pribadi anak. Anak cenderung
menjadi penakut dan tidak percaya diri. Atau
kepatuhan yang ditampilkannya pada orang tua
yang bersikap seperti ini hanyalah kepatuhan
yang semu, sementara di dalam jiwanya ia
menyimpan sikap penentangan dan
pembangkangan yang luar biasa. Ia hanya
mampu memendam sikap penentangan itu tanpa
mampu melampiaskannya. Sikap penentangan ini
akan menjadi bom waktu dalam jiwa anak yang
suatu saat akan meledak jika situasi dan
kondisinya mendukung.
Agar semua ini tidak terjadi, perlu dibangun
komunikasi dan dialog yang harmonis antara
orang tua dan anak. Kebiasaan orang tua yang
selalu meminta pendapat anaknya -khususnya
yang berhubungan langsung dengan dirinya- akan
memberikan rasa percaya diri yang besar dalam
jiwa anak. Ia akan merasa keberadaannya dalam
keluarga dihargai dan diperhatikan. Selanjutnya,
perasaan ini akan menumbuhkan sikap kreatif dan
proaktif dalam jiwa anak di tengah-tengah
masyarakat.
Dua: Kesabaran Ismail dalam menjalankan
perintah Allah untuk menyembelih dirinya. Adalah
sesuatu yang teramat berat untuk menjalankan
perintah seperti ini, apalagi dari seorang anak
yang masih sangat belia. Tentu saja ini adalah
hasil dari sebuah didikan yang luar biasa.
Pendidikan yang mampu menumbuhkan sikap
tawakal yang luar biasa dalam jiwa anak.
Pendidikan yang membuat anak bersedia
menjalankan apapun perintah Allah, sekalipun
akan mengorbankan nyawanya. Namun hal itu
tidaklah mustahil, karena dalam rentang sejarah
Islam juga banyak anak-anak yang sangat
dewasa dalam menjalankan perintah Allah.
Diriwayatkan bahwa anak-anak para
salafusshaleh sering berpesan kepada ayahnya
sebelum ayahnya pergi mencari nafkah: "Ayah,
carilah rezeki yang halal, karena sesungguhnya
kami mampu bersabar dalam kelaparan tapi kami
tidak akan mampu bertahan dalam siksa
neraka."[2] Tentunya sikap seperti ini hanya
dapat dihasilkan melalui pendidikan yang serius
sejak dini dengan menanamkan nilai-nilai
keimanan dalam jiwa anak sedari kecil.
Tiga: Kesabaran dan ketabahan dalam
menjalankan perintah Allah akan selalu
mendatangkan hasil terbaik. Ketika Ibrahim dan
Ismail bersikap sabar dan tabah dalam
menjalankan perintah Allah, meskipun itu sangat
berat, Allah swt. menerima pengorbanan mereka
dan menjadikan keluarga mereka sebagai
keluarga pilihan di alam semesta. Mereka telah
lulus menjalani sebuah ujian yang sangat berat.
Kesabaran dan ketabahan dalam menjalankan
perintah Allah itu hanya dapat diperoleh dengan
keimanan yang kuat dan keyakinan yang kokoh
bahwa kehendak Allah adalah yang terbaik
meskipun bertentangan dengan hawa nafsu
manusiawi.
Empat: Cinta pada anak adalah ujian. Oleh karena
itu Allah swt. berfirman bahwa anak-anak dan
istri bisa menjadi musuh bagi seseorang jika
semua itu akan melalaikannya dari mengingat
Allah swt. (at-Taghaabun: 14). Bagaimanapun
cintanya orang tua kepada anaknya, hal itu tidak
boleh menyamai apalagi melebihi cinta mereka
kepada Allah. Ketika istri, anak-anak dan keluarga
lebih dicintai daripada Allah, saat itulah mereka
akan berubah menjadi musuh di akhirat kelak.
Bahkan cinta kepada anak-anak tidak boleh
melebihi cinta kepada Rasulullah saw. Dalam
sebuah hadits, Rasulullah saw. bersabda: "Tidak
sempurna iman seseorang diantara kamu
sehingga aku lebih dicintainya dari anaknya,
orang tuanya dan manusia seluruhnya."[3]
Ketiga: Keluarga Luqman
Ulama berbeda pendapat apakah Luqman seorang
Nabi atau hanya seorang yang bijak bestari.
Pendapat terkuat adalah bahwa Luqman bukanlah
seorang Nabi melainkan seorang ahli hikmah
(hakiim). Namanya diabadikan menjadi nama
salah satu surat dalam Al-Qur'an. Sebagian besar
ayat-ayat dalam surat Luqman bercerita tentang
nasihat-nasihat Luqman kepada anaknya.
Pelajaran berharga yang dapat kita ambil di sini
adalah seyogyanya pendidikan dasar pertama
yang diterima oleh anak adalah datang dari orang
tuanya sendiri. Orang tualah yang paling
bertanggung jawab untuk mendidik dan
mengarahkan anaknya ke jalan yang baik. Adapun
sekolah hanyalah sebagai sarana pendukung
dalam proses pendidikan anak secara formal.
Jadi, selayaknya orang tua selalu memberikan
nasehat-nasehat berharga kepada anak-anaknya
sejak mereka masih kecil. Karena di masa-masa
itu, ingatan mereka masih sangat kuat untuk
merekam apa saja yang disampaikan kepada
mereka. Dalam usia-usia tersebut, mereka ibarat
kertas putih yang bisa ditulis dengan apa saja.
Alangkah baiknya bila orang tua memanfaatkan
masa-masa itu untuk membentuk karakter dan
pribadi anak-anaknya dalam bingkai keimanan
dan akhlak yang mulia.
Ada beberapa nasehat yang diberikan Luqman
kepada anaknya seperti yang tercantum dalam
surat Luqman ayat 13 – 19:
Satu: Jangan mempersekutukan Allah. Ini
merupakan pelajaran aqidah yang paling
mendasar yang mesti diberikan kepada anak sejak
dini. Jika iman dan aqidah sudah tertanam
dengan kuat dalam dirinya, niscaya ia akan
tumbuh menjadi anak yang konsisten, penuh
tanggung jawab dan tegar menghadapi segala
cobaan hidup.
Dua: Berbakti pada kedua orang tua. Orang tua
sebagai faktor lahirnya anak ke muka bumi
adalah orang yang paling berhak untuk diberikan
bakti oleh anak-anak. Begitu pentingnya berbakti
kepada orang tua sampai-sampai dalam sebuah
haditsnya Rasulullah saw. bersabda: "Keridhaan
Allah terletak di atas keridhaan orang tua dan
kemurkaan Allah terletak di atas kemurkaan orang
tua."
Tiga: Mendirikan shalat dan melaksanakan amar
ma'ruf nahi mungkar. Pembiasaan ibadah kepada
anak-anak sejak kecil sangat berguna untuk
memberi kesadaran kepada mereka bahwa
keberadaan mereka di dunia ini semata-mata
hanyalah untuk mengabdi kepada Allah swt.
Dengan demikian ia akan hidup dengan sebuah
misi dan target yang jelas. Misinya adalah
berubudiyah kepada Allah, sementara targetnya
adalah mencapai ridha Allah.
Hal ini sekaligus juga akan menumbuhkan dalam
diri anak keberanian memikul sebuah tugas dan
tanggung jawab serta mampu bersikap disiplin.
Sebab, semua jenis ibadah yang diajarkan oleh
Islam mengajarkan kita untuk berani memikul
amanah dan disiplin dalam menjalankannya. Di
samping itu, yang dituntut dalam melaksanakan
sebuah ibadah bukan sekedar lepas kewajiban,
melainkan yang terpenting adalah pembentukan
pribadi dan karakter yang baik yang tampak
nyata dalam aktivitas sehari-hari sebagai buah
yang positif dari rutinitas ibadah yang dikerjakan.
Empat: Jangan berlaku sombong. Nasehat ini
sangat berharga bagi anak-anak sebagai bekal
dalam pergaulan di tengah-tengah masyarakat.
Jika ia ingin diterima oleh masyarakat, ia mesti
menjauhi segala pantangan pergaulan dalam
masyarakat. Karena, jika ia bersikap sombong
maka secara tidak langsung sesungguhnya ia
telah merendahkan orang lain. Dan siapapun
orangnya sudah pasti memiliki harga diri dan
tidak akan rela bila dipandang enteng dan
diremehkan. Maka, modal utama pergaulan dalam
masyarakat adalah sikap tawadhu’ (rendah hati)
dan tidak menganggap diri lebih dari orang lain.
Keempat: Keluarga Nabi Ya’qub as.
Nabi Ya’qub adalah putra Nabi Ishak dan cucu
Nabi Ibrahim. Ia mempunyai putra yang juga
seorang Nabi yaitu Yusuf as., sehingga Nabi
Yusuf digelari dengan al-Karim ibnu al-Karim ibnu
al-Karim (orang yang mulia putra dari orang yang
mulia dan cucu dari orang yang mulia).
Kisah Nabi Ya’qub as. bersama anak-anaknya
dimuat dalam surat Yusuf secara sempurna.
Kisah tersebut dijuluki oleh Allah sebagai ahsanul
qashash (kisah terbaik). Di samping jalan
ceritanya yang menarik, kisah ini juga
mengandung hikmah dan pelajaran yang sangat
berharga. Kisah keluarga Ya’qub ini diawali
dengan mimpi yang dialami oleh Yusuf kecil. Ia
melihat sebelas bintang, matahari dan bulan sujud
kepadanya. Yusuf menceritakan mimpinya itu
kepada ayahnya. Nabi Ya’qub mengetahui bahwa
anaknya ini kelak akan menjadi orang besar dan
terpandang. Oleh karena itu, Nabi Ya’qub
meminta anaknya untuk merahasiakan mimpinya
itu dari saudara-saudaranya yang lain.
Sejak saat itu, kasih sayang dan perhatian Nabi
Ya’qub kepada anaknya Yusuf semakin
bertambah. Hal itu kemudian membuat anak-anak
Nabi Ya’qub lainnya merasa iri pada Yusuf.
Akhirnya, setelah mengelabui sang ayah, mereka
melemparkan Yusuf ke dalam sumur tua. Mereka
pulang dengan membawa baju Yusuf yang telah
dilumuri darah kambing, lalu mengadukan pada
ayah mereka bahwa Yusuf telah dimakan serigala.
Yusuf kemudian dipungut oleh kafilah dagang
yang sedang menuju negeri Mesir. Yusuf dijual
sebagai seorang budak. Ia dibeli oleh seorang
pejabat istana kerajaan Mesir. Setelah melalui
berbagai cobaan (seperti digoda oleh istri
tuannya yang membuatnya dijebloskan ke penjara
karena menolak rayuan maut itu) Yusuf akhirnya
menjadi tokoh berpengaruh di Mesir. Ia
mendapatkan posisi penting dalam
mendistribusikan kebutuhan pokok pada segenap
warga selama musim paceklik melanda. Ternyata
paceklik juga menimpa keluarga Nabi Ya’qub.
Nabi Ya’qub menyuruh anak-anaknya meminta
bantuan kepada penguasa Mesir yang
sesungguhnya adalah putranya sendiri. Akhirnya
setelah beberapa kali pertemuan, Nabi Yusuf baru
memberitahukan kepada saudara-saudaranya
yang datang meminta bantuan pangan itu bahwa
dialah Yusuf yang dulu mereka lemparkan ke
dalam sumur tua. Tak berapa lama setelah itu,
Nabi Ya’qub berjumpa kembali dengan putranya
tercinta dan keluarga Nabi Ya’qub diboyong ke
Mesir untuk hidup bersama Nabi Yusuf yang telah
menjadi seorang pembesar dan tokoh
berpengaruh di negeri itu.
Ada beberapa pelajaran yang ingin kita petik dari
kisah keluarga Nabi Ya’qub ini:
Satu: Adalah sesuatu yang lumrah dan manusiawi
bila hati seorang ayah atau ibu lebih condong
kepada salah seorang anaknya dibanding yang
lain. Rasa sayang yang lebih itu bisa jadi karena
anak tersebut lebih patuh, lebih cerdas, lebih
santun dan sebagainya. Hal itu tidak menjadi
dosa bagi orang tua. Karena Al-Qur'an sendiri
mengakui bahwa tidak seorangpun yang mampu
berbuat adil secara sempurna (an-Nisa': 129).
Yang dituntut oleh Islam dari orang tua adalah
adil secara lahir. Artinya, meskipun secara batin
dan di dalam hatinya ia lebih menyukai dan
menyayangi salah seorang di antara anak-
anaknya, akan tetapi dalam hal-hal yang tampak
nyata ia wajib berlaku adil, seperti dalam
mendidik, memberi nafkah, mencukupi segala
kebutuhannya dan lain sebagainya. Orang tua
akan berdosa seandainya rasa sayangnya yang
berlebih pada beberapa orang anaknya
membuatnya membeda-bedakan mereka dalam
hak-hak secara lahir seperti pendidikan yang
layak, uang belanja yang cukup, melengkapi
kebutuhan sehati-hari dan sebagainya. Pada
intinya, orang tua harus pandai dan bijak dalam
membagi perhatiannya terhadap anak-anaknya
sehingga tidak menimbulkan kecemburuan yang
negatif dalam hati sebagian mereka.
Dua: Rasa cemburu yang berlebihan dan tak
dapat dikendalikan bisa menjadi faktor yang
sangat berbahaya dalam menghancurkan sebuah
keluarga. Rasa cemburu ini dapat menghinggapi
siapa saja. Suami cemburu pada istri atau
sebaliknya, kakak cemburu pada adik atau
sebaliknya dan seterusnya. Seorang yang merasa
cemburu cenderung akan berusaha melampiaskan
perasaannya dengan berbagai cara meskipun
akan membahayakan jiwa saudaranya sendiri.
Dalam kisah keluarga Nabi Ya’qub di atas, rasa
cemburu telah menjerumuskan saudara-saudara
Yusuf ke dalam lingkaran dosa yang panjang;
mereka tega mencelakakan saudara sendiri,
melanggar janji mereka semula untuk menjaga
Nabi Yusuf, berbohong kepada ayah mereka
dengan mengatakan bahwa Yusuf diterkam
serigala dan seterusnya. Seorang ayah mesti
menyikapi perasaan cemburu diantara anak-
anaknya dengan baik dan penuh bijaksana. Sikap
yang dipilih oleh Nabi Ya’qub menghadapi anak-
anaknya yang dihinggapi perasaan cemburu yang
berlebihan itu adalah bersabar. Beliau hanya
mengatakan: fashabrun jamiil (maka sabarlah
yang lebih baik). Seandainya Nabi Ya’qub
mengusir anak-anaknya yang telah menyia-
nyiakan putra kesayangannya, tentu hal itu bukan
sebuah solusi bijak dalam mendidik mereka,
karena akhirnya mereka akan semakin lari atau
bahkan membenci ayah mereka sendiri.
Kelima: Keluarga Nabi Daud as.
Awalnya, Nabi Daud adalah salah seorang tentara
dalam pasukan yang dipimpin oleh Thalut. Karena
keberhasilan Daud membunuh Jalut (al-Baqarah:
251) bintangnya mulai berkibar dan akhirnya ia
menjadi seorang raja besar Bani Israil. Putranya,
Sulaiman juga seorang Nabi dan Rasul yang kelak
mewarisi kekuasaan ayahnya. Jadi, bisa dibilang
keluarga Nabi Daud adalah potret keluarga elit
kekuasaan yang taat kepada Allah. Nabi Daud
selalu menyuruh keluarganya untuk senantiasa
mengerjakan shalat dan berzikir. Dikisahkan
bahwa Nabi Daud memiliki waktu-waktu tertentu
dimana ia bermunajat dan berzikir kepada Allah di
mihrabnya. Di saat seperti itu, tak seorangpun
yang boleh dan berani mengganggu beliau.
Ternyata kekuasaan besar yang diberikan
kepadanya sama sekali tidak menghalanginya
untuk mengkhususkan sebagian waktunya
tenggelam dalam lautan zikir kepada Allah.
Selain nuansa ibadah dan zikir, keluarga Nabi
Daud juga kental dengan nuansa ilmu
pengetahuan. Sudah jamak diketahui bahwa Nabi
Daud adalah manusia pertama yang mampu
mengolah besi dengan tangannya untuk berbagai
keperluan terutama persenjataan perang. Di
samping itu, Nabi Daud juga dikenal sebagai
seorang raja yang adil dan bijaksana yang
mampu memecahkan berbagai permasalahan
yang paling rumit sekalipun dengan baik.
Tentunya semua itu membutuhkan kecerdasan
dan ilmu pengetahuan. Sifat ini kemudian diwarisi
oleh putranya, yaitu Nabi Sulaiman. Bahkan
dalam beberapa kasus, Allah swt. memberikan
pemahaman yang lebih kepada Nabi Sulaiman,
sehingga berkat ilmu dan kecerdasannya kasus-
kasus tersebut dapat diselesaikan dengan penuh
keadilan. Jadi, sebelum mereka berkuasa dengan
kekuatan fisik dan senjata, mereka telah berkuasa
lebih dahulu dengan kekuatan ilmu dan
kecerdasan.
Keenam: Keluarga Nabi Syu’aib as. Bersama
Kedua Puterinya
Setelah lari dari Mesir untuk menghindari
pengejaran tentara Fir’aun, Nabi Musa as. tiba di
sebuah negeri yang bernama Madyan. Di sana ia
melihat kerumunan manusia yang sedang
berdesak-desakan untuk mengambil air dari
sebuah sumur. Tak jauh dari kerumunan itu
tampak dua orang gadis sedang berdiri menunggu
hingga kerumunan itu bubar. Musa mendekati
kedua gadis tersebut dan bertanya, "Kenapa
dengan kalian?" Keduanya menjawab, "Kami tidak
bisa mengambil air sampai mereka semua
selesai, sementara ayah kami sudah sangat tua".
Tanpa pikir panjang lagi, Nabi Musa segera
membantu kedua orang gadis itu untuk
mengambil air.
Tidak berapa lama setelah itu, Nabi Musa
diundang untuk datang oleh ayah kedua gadis itu
yang tak lain adalah Nabi Syu’aib as.[4] Dalam
surat al-Qashash ayat 25 disebutkan bahwa salah
seorang dari kedua gadis yang disuruh oleh
ayahnya untuk mengundang Nabi Musa itu
datang sambil malu-malu. Ia tidak termasuk tipe
gadis salfa’ (gadis yang terlalu berani pada laki-
laki). Rasa malu gadis itu dibalas oleh Nabi Musa
dengan penuh bijak dan berwibawa ketika ia
meminta gadis itu untuk berjalan di belakangnya
untuk menjaga pandangan dan bisikan hati dari
hal-hal yang dihembuskan oleh setan dan hawa
nafsu. Muru'ah (harga diri) seorang laki-laki
muslimlah yang telah mendorong Nabi Musa
untuk menjaga hati dan juga ‘iffah (kesucian diri)
gadis itu.
Ternyata ayah sang gadis bermaksud
menawarkan Nabi Musa untuk menikahi salah
seorang puterinya. Tawaran itu pun dibalas oleh
Nabi Musa dengan penuh mulia yaitu pengabdian
selama lebih kurang delapan tahun sebagai
mahar dari pernikahan tersebut.
Dari petikan kisah ini ada beberapa pelajaran
berharga yang dapat kita ambil:
Pertama: Nabi Syu’aib as. telah mengambil
sebuah keputusan yang penuh bijaksana dan
berani ketika ia ingin menikahkan salah seorang
puterinya dengan seorang pemuda asing yang
tidak memiliki apa-apa selain agama. Inilah
faktor utama yang mendorong bagi Nabi Syu’aib
untuk mengambil Nabi Musa sebagai menantu.
Faktor ini pulalah yang seharusnya menjadi
pertimbangan utama bagi setiap orang tua
muslim dalam mencarikan jodoh untuk anaknya.
Dalam sebuah hadits disebutkan, "Apabila datang
kepadamu pemuda yang kamu sukai agamanya
maka nikahkanlah ia (dengan puterimu), karena
kalau tidak akan timbullah fitnah". Ketika orang
tua tidak lagi memperdulikan faktor agama, tapi
lebih melihat kepada status sosial maka saat itu
akan timbullah bencana dan malapetaka.
Hubungan suami istri adalah hubungan sakral
yang akan terjalin untuk selama-lamanya.
Seandainya orang tua tidak pandai-pandai
memilih calon pasangan untuk anak-anaknya
maka sulit untuk mengharapkan mereka akan
memperoleh kehidupan yang bahagia, damai dan
harmonis dalam mengarungi bahtera rumah
tangga.
Faktor lain yang juga menjadi pertimbangan bagi
Nabi Syu’aib untuk menikahkan puterinya dengan
Nabi Musa adalah bahwa ternyata Nabi Musa
adalah seorang pekerja keras dan penuh tanggung
jawab. Hal ini tampak dari bantuan yang
diberikannya pada kedua gadis puteri Nabi
Syu’aib itu dalam mengambil air dan juga mahar
yang diberikannya dalam bentuk pengabdian kerja
pada Nabi Syu’aib selama delapan tahun. Maka,
ibadah ritual yang rajin tentu saja tidak cukup
bila tidak diikuti okeh aplikasi nyata tehadap
nilai-nilai agung yang terkandung dalam ibadah
itu sendiri.
Kedua: Bukanlah sebuah aib ketika orang tua
menawarkan puterinya kepada seorang pemuda
yang ia kagumi pribadi dan agamanya. Bahkan
itu sudah menjadi hal yang lumrah di masa
Rasulullah saw. dan salafusshaleh. Diriwayatkan
bahwa Umar r.a. menawarkan puterinya, Hafshah
kepada Abu Bakar, tapi Abu Bakar tidak
memberikan jawaban. Kemudian Umar
menawarkannya kepada Utsman, tetapi Utsman
mohon maaf tidak bisa menerima tawaran
tersebut. Umar sempat merasa kurang enak
memperoleh reaksi yang demikian dari kedua
sahabatnya tersebut. Ternyata di balik usaha
Umar untuk mencarikan suami yang saleh bagi
puterinya, Allah swt. telah menakdirkan seorang
suami terbaik dan paling ideal untuk putrinya
yaitu Rasulullah saw.[5]
Di masa itu bahkan ada seorang wanita yang
dengan berani menawarkan dirinya untuk dinikahi
oleh Rasulullah saw. Meskipun Rasulullah tidak
jadi menikahinya tapi wanita itu telah
mengajarkan makna kesucian diri yang
sesungguhnya. Adalah lebih suci dan mulia ketika
seorang wanita menawarkan dirinya kepada
seorang yang saleh dan bertakwa untuk dinikahi
dari pada menjalin hubungan yang tidak syar’i
dengan seorang yang –sudah tentu- diragukan
kualitas keagamaannya. Tak ada kata malu untuk
menjalankan syariat Allah dan mencari ridha-Nya
meskipun dalam pandangan manusia hal itu
masih menjadi sesuatu yang tabu. Karena pada
hakikatnya, baik atau buruknya sesuatu itu diukur
dari kacamata syariat. Segala sesuatu yang
diperintahkan dalam syariat adalah baik
meskipun dalam pandangan manusia hal itu
masih aneh dan janggal. Dan setiap yang dilarang
syariat adalah buruk meskipun manusia sudah
menganggapnya sebagai sesuatu yang biasa. Hati
nurani manusia sering ditutupi oleh nafsu dan
syahwat sehingga ia sulit melihat cahaya
kebenaran dalam wujud yang sesungguhnya.
Ketiga: Didikan yang baik dari orang tua dapat
menumbuhkan karakter yang baik dan kecerdasan
pada diri anak. Hasil didikan Nabi Syu’aib
terhadap puterinya tampak pada sifat malu dalam
diri sang puteri saat ia disuruh ayahnya untuk
mengundang Nabi Musa. Dalam sebagian riwayat
disebutkan bahwa ketika pergi memanggil Nabi
Musa ia mengenakan cadar untuk menutupi
wajah dan menjaga ‘iffahnya. Di samping pemalu,
puteri Nabi Syu’aib juga seorang yang cerdas.
Terbukti dari saran yang disampaikannya kepada
ayahnya untuk mengupah Nabi Musa as. Ia
berkata: "Sesungguhnya orang terbaik yang ayah
upah adalah laki-laki yang kuat dan dapat
dipercaya." Perkataan puteri Nabi Syu’aib ini
mengajarkan kita bahwa kriteria utama yang
mesti diperhatikan dalam memilih tenaga kerja
dalam bidang apa saja adalah: al-qawiyy (punya
kemampuan atau skill) dan al-amiin (dapat
dipercaya).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar